REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lingga Permesti
Tanggal 24 Maret 1946 merupakan peristiwa yang sangat bersejarah. Pada tanggal itulah Bandung Lautan Api terjadi. Sebanyak 200 ribu penduduk membakar rumah mereka untuk mencegah tentara Belanda dan sekutu menggunakan Bandung sebagai markas militer.
Guna memperingati kejadian tersebut, kota kreatif ini punya banyak cara. Di antaranya dengan menggelar Bandoeng Laoetan Onthel (Bandung Lautan Onthel). Sekitar 10 ribu ontelis dalam dan luar negeri berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Gelaran tiga tahunan itu tercatat dalam Indonesian Book of Record (IBOR) untuk kategori kegiatan yang menghadirkan ontelis terbanyak. Acara ini digagas oleh Paguyuban Sapedah Baheula (PSB) Bandoeng. Selain komunitas pecinta ontel, juga terdapat komunitas sepeda BMX dan jenis sepeda lainnya.
Ontelis datang dari Aceh, Sulawesi, Semarang, Jember, Bali hingga Lombok. Adapun dari luar negeri seperti Malaysia, Belanda, Inggris dan Perancis. Ontelis asal Belanda, Jorg mengaku sudah dua kali mengikuti BLO. Baginya, semua yang berhubungan dengan sepeda antik menjadi hal yang sangat penting. Mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan sepeda antik adalah hal yang menyenangkan untuknya. Ia merasa harus datang.
"Saya sudah dua hari di Kota Bandung. Menjadi ontelis adalah hal yang mengasyikkan,"katanya, Ahad (24/3).
Menurut salah satu panitia BLO, Hernan Betok, sebanyak tujuh orang undangan dari Belanda adalah kolektor sepeda antik dan pemilik museum. Sementara ontelis dari Malaysia datang karena jalinan komunitas PSB dengan komunitas Kayuhan Dua Negara Indonesia dan Malaysia. Sekitar 70 ontelis dari Malaysia berpartisipasi dalam kegiatan yang dipusatkan di Lapangan Gasibu Bandung.
Sebelumnya, 1.000 ontelis berkonvoi pada Sabtu malam (23/3). Mereka bergabung dengan sekitar 5.000 peserta pawai obor yang juga salah satu rangkaian peringatan Bandung Lautan Api. Adapun sekitar 3.000 orang menuju menara jalan layang Pasupati dalam rangka Earth Hour atau pemadaman listrik.
Pada Ahad (24/3), ontelis berkonvoi dari Lapangan Gasibu melewati Jalan Diponegoro, Supratman, Jalan Ahmad Yani, Jalan Asia-Afrika dan Gedung Merdeka. Kemudian, kembali tempat awal melalui Jalan Braga, Jalan Naripan, dan Jalan Sunda. Sambil berkonvoi, ontelis menyanyikan lagu-lagu bertema nasionalis seperti Halo-halo Bandung dan Padamu Negeri.
Agar dapat menarik perhatian pengunjung, ontelis melakukan banyak cara. Misalnya, berpakaian ala putri Eropa, penjajah Belanda, hingga pakaian ala suku Indian. Salah satu komunitas ontel O'Djapid sengaja datang jauh dari Jember. Mereka berpakaian ala suku Indian. Ketua O'Djapid, Sumaryono (50 tahun) mengatakan, menggunakan ontel merupakan bagian dari misi mempertahankan sejarah dan kebudayaan.
Sumaryono yang datang bersama 16 anggotanya juga berharap masyarakat dapat gemar bersepeda. Selain karena olah raga ini murah meriah, tapi juga dapat mencegah pemanasan global. "Kalau bisa dalam satu hari tidak menggunakan kendaraan bermotor,"katanya.
Para pecinta sepeda tak hanya dari kalangan pria, tapi juga kalangan wanita. Komunitas Nu Geulis Ngowes (NGN) misalnya, menjadi wadah bagi kaum wanita yang hobi bersepeda. "Awalnya komunitas ini dibentuk agar suami atau keluarga dari perempuan tak khawatir. Tapi sekarang kami lebih mengkampanyekan agar wanita mau bersepeda,"ujar pendiri NGN, Dewi G.Kurnia.
Hobi yang Jadi Ajang Bisnis
Gelaran ini juga menjadi ajang bisnis bagi para pecinta ontel. Alianto (26) dari O'Djapid mengaku tak sekadar datang karena hobi. Namun, sekaligus menjual kerajinan tangan yang dibuat oleh komunitasnya itu.
Kegiatan ini juga dimeriahkan dengan adanya klitikan. Yakni penjual loakan onderdil sepeda kuno. Ratusan penjual menawarkan onderdil yang dimiliki. "Tak hanya ontel, tapi kami juga mengumpulkan penjual onderdil sepeda kuno terbanyak saat ini,"kata Ketua PSB yang juga panitia Bandoeng Laoetan Onthel, Yahya Johari.
Dengar saja penuturan dari Ginanjar Sugih (26), salah satu penjual klitikan. Onderdil sepeda yang dijualnya bermula dari harga puluhan ribu hingga jutaan Rupiah. Keuntungan yang diperoleh juga bisa mencapai seratus persen. "Sebenarnya tidak ada standardisasi harga, tapi semakin langka, onderdil semakin mahal,"katanya.
Bel sepeda ontel yang dijual misalnya, mencapai harga Rp 1,5 juta. Akan bertambah mahal jika onderdil yang dijual langka, tua dan bermerek. "Pembeli biasanya mencari bagian dari sepeda, misalnya lampu, bel, sadel, hingga pedal,"katanya. Ginanjar yang pada awalnya hobi bersepeda ontel ini mengatakan, kolektor akan mengeluarkan uang berapapun agar memiliki barang yang diinginkan.