Rabu 06 Mar 2013 19:14 WIB

Kasus Century Jadi Mainan Politik Jelang Pemilu 2014

Massa dari Gerakan Masyarakat Pemburu Koruptor (GEMPUR), melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK segera menuntaskan kasus Bank Century.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Massa dari Gerakan Masyarakat Pemburu Koruptor (GEMPUR), melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK segera menuntaskan kasus Bank Century.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat politik Syamsuddin Haris menilai kasus korupsi fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) terhadap Bank Century akan dimunculkan kembali untuk dijadikan barang "mainan" bagi partai politik menjelang Pemilu 2014.

"Ini bisa jadi mainan politik dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkan itu, terutama untuk kekuasaan masing-masing partai politik," kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Rabu.

Sudah menjadi hal lumrah di dunia politik bahwa kasus apapun yang belum tuntas penyelesaiannya akan diungkit lagi demi pemenangan strategi politik partai terkait.

Meskipun akan sering dimunculkan lagi ke publik, pada akhirnya kasus tersebut tidak akan mengalami banyak perubahan dalam penyelesaiannya. "Secara substansi, kasus itu sendiri 'status quo'," tambahnya.

Demikian halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dinilainya tidak akan lebih jauh lagi mengungkap dan menetapkan tersangka dengan dua alat bukti kuat. "Secara hukum, langkah KPK akan begitu-begitu saja. Artinya, bahwa ada tekanan kuat bagi KPK," lanjutnya.

Keterlibatan partai politik dalam kasus Century tidak hanya berhenti pada satu parpol saja, melainkan bisa banyak parpol yang terlibat dalam hal itu. Oleh karena itu, kasus Bank Century akan selalu menjadi "mainan" politik, entah oleh individu politikus maupun parpol.

"Kalaupun ada langkah signifikan KPK dalam kasus Century, saya menduga langkah itu lebih pada pejabat publik, bukan di level atas," ujarnya.

Pemberian pinjaman ke Bank Century bermula saat bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas pada Oktober 2008. Manajemen Century mengirim surat kepada Bank Indonesia (BI) pada 30 Oktober 2008 untuk meminta fasilitas repo aset senilai Rp 1 triliun.

Namun Bank Century tidak memenuhi syarat untuk mendapat FPJP karena masalah kesulitan likuiditas Century sudah mendasar akibat penarikan dana nasabah dalam jumlah besar secara terus-menerus.

Century juga tidak memenuhi kriteria karena rasio kecukupan modal (CAR) yang hanya 2,02 persen, padahal, sesuai dengan aturan Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008, syarat untuk mendapat bantuan itu adalah CAR harus 8 persen.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Century menyimpulkan adanya ketidaktegasan Bank Indonesia terhadap bank milik Robert Tantular tersebut karena diduga telah mengutak-atik peraturan yang dibuat sendiri agar Century bisa mendapat FPJP, yaitu dengan mengubah Peraturan Bank Indonesia No 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula dengan CAR 8 persen menjadi CAR positif.

BPK menduga perubahan ini hanya rekayasa agar Century mendapat fasilitas pinjaman itu karena menurut data BI, posisi CAR bank umum per 30 September 2008 berada di atas 8 persen, yaitu berkisar 10,39 - 476,34 persen dan satu-satunya bank yang CAR-nya di bawah 8 persen hanya Century.

BI akhirnya menyetujui pemberian FPJP kepada Century sebesar Rp502,07 miliar karena CAR Century sudah memenuhi syarat PBI. Belakangan BI bahkan memberi tambahan FPJP Rp187,32 miliar sehingga total FPJP yang diberikan BI kepada Century sebesar Rp 689 miliar.

Posisi CAR Century ternyata sudah negatif 3,53 bahkan sejak sebelum persetujuan FPJP artinya BPK menilai BI telah melanggar PBI No 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bank yang dapat mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif.

Selain itu jaminan FPJP Century hanya Rp 467,99 miliar atau hanya 83 persen yang melanggar PBI No 10/30/PBI/2008 mengenai jaminan kredit.

Pemberian dana talangan bank Century sendiri diberikan secara bertahap yaitu pertama Rp2,7 triliun pada 23 November 2008, kedua pada 5 Desember 2008 sebesar Rp2,2 triliun, tahap ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,1 triliun dan tahap keempat pada 24 Juli 2009 sebesar Rp 630 miliar sehingga total dana talangan adalah mencapai Rp 6,7 triliun.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement