Jumat 01 Mar 2013 10:19 WIB

Kebebasan Ormas Dinilai Cenderung Kebablasan

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Citra Listya Rini
   Aksi unjuk rasa Ormas Islam. (ilustrasi)
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Aksi unjuk rasa Ormas Islam. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) dianggap tidak relevan lagi dengan masa kini. Karena itu, revisi UU Ormas yang tengah dibahas di DPR bisa menjadi solusi untuk mengatur kebebasan ormas yang cenderung tidak terkontrol.

Mantan sekretaris jenderal Ikatan Sosiolog Indonesia Tripanaji mengatakan, Indonesia memerlukan regulasi ketat untuk mengayomi ormas. Karena tanpa adanya payung hukum, ia khawatir, kebebasan berserikat dan berkumpul justru berpotensi kebablasan.

Dicontohkannya kasus ekstrem tentang kasus penolakan FPI di Palangkaraya. Meski dinilainya sebagai bentuk aspirasi, tapi bila penolakan itu memakai cara kekerasan, sangat tidak dibenarkan. "Membawa senjata parang dengan membawa massa itu tak benar. RUU Ormas dibutuhkan agar tak ada cara-cara kekerasan seperti itu,” kata Tripanaji di Jakarta, Jumat (1/3).

Anggota Tim Perumus RUU Ormas itu mengingatkan, pasal 28J UUD 1945 menerangkan, hak kebebasan berserikat dan berkumpul warga tak boleh melanggar hak warga lainnya. Dalam konteks itu, negara bisa hadir, lewat aturan perundang-undangan.

Terkait penolakan pengesahan RUU Ormas oleh Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia yang didukung Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Tripanaji mengimbau agar dilakukan dialog. Baik pemerintah dan DPR RI dengan pihak kelompok ormas dan LSM tidak saling gertak.

“Sepengetahuan saya, Muhammadiyah, NU, bahkan FPI, adalah yang paling getol berdialog dalam pembahasan RUU Ormas. Mereka sepakat memang perlu regulasi itu,” kata Tripanaji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement