REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Program Vokasi Universitas Indonesia (UI) menggelar diskusi bertajuk konflik etnis, agama dan separatisme di Azerbaijan dengan su kemanusiaan difokuskan pada tragedi pembantaian Khojaly.
Pembantaian Khojaly adalah pembantaian jumlah besar etnis Azerbaijan di kota Khojaly sejak 25 Februari 1992. Tragedi tersebut merenggut korban 106 perempuan dan lebih dari 80 anak-anak.
Hadir dalam diskusi yang juga didukung Kedutaan Besar Azerbaijan, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang juga Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Said Agil Siradj, serta para duta besar dari Pakistan, Afganistan, Turki, dan Tunisia.
"Diskusi ini salah satu usaha kita memotivasi agar jangan terjadi lagi genosida di dunia. Secara psikologi, sosiologi, tentu berpengaruh pada para korban. Kita berharap bisa melakukan sesuatu dengan ini," ujar Ketua Program Vokasi UI, Muhammad Hikam di Perpustakaan UI, Depok, Kamis (28/2).
Hikam mengapresiasi kegiatan yang mengangkat isu kemanusiaan dan mengatasi konflik yang terjadi di dunia tersebut. "Atas nama kemanusiaan, seluruh dunia sebaiknya memerangi Genosida bersama-sama," tegasnya.
Sekretaris Universitas UI, Ketut Surajaya mengatakan, Indonesia beruntung bebas dari perang, meski seringkali mengalami konflik. Untuk mengatasi konflik di dunia, paparnya, PBB bisa berperan besar dalam mengurangi risiko konflik.
"Termasuk keamanan, perkembangan, rekonsiliasi, dan isu kemanusiaan. Bisa dibangun bersama-sama, untuk meringankan penyebab dan dampaknya. Kita harus membangun hubungan diplomatis secara humanis. Universitas tempat untuk menghargai satu sama lain. Kita bisa membantu berbicara dan konsentrasi pada isu itu, resolusi konflik," papar Ketut.