Kamis 14 Feb 2013 14:23 WIB

Menjerat Pemberi dan Penerima Gratifikasi Seksual (1)

Rep: Siwi Tri Puji/Erdy Nasrul/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Gratifikasi seks bisa menjadi salah satu modus yang diberikan kepada seseorang yang memiliki jabatan strategis. Ini bukan kejahatan biasa. Demikian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj, melabeli gratifikasi seks.

Menerima suap saja sudah salah, apalagi suap seks. Ibarat melakukan dua kejahatan sekaligus.

Maka tak berlebihan jika kemudian dia mengajukan saran: hukuman bagi penerima gratifikasi seks harus lebih berat dari penerima gratifikasi dalam bentuk uang. "Suap berupa uang saja haram, apalagi ini menyangkut seks. Ada hukumannya sendiri karena itu bisa disebut zina," katanya.

Menurut Said Aqil, gratifikasi seks tidak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, namun juga moral dan hukum agama. "Itu tidak sekadar kejahatan biasa, tapi menyangkut akhlak dan moralitas," tandas kiai bergelar doktor lulusan Universitas Ummul Qura, Makkah, tersebut.

Said Aqil mengatakan, jika penerima gratifikasi seks itu seorang pejabat, maka ia sudah tidak layak lagi disebut pejabat, sudah tidak patut jadi pejabat negara dan pemimpin bangsa.

Namun menyeret pelaku dan penerima gratifikasi seks, bukan perkara gampang. Harus diakui, tak ada payung hukum khusus yang mengaturnya.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, undang undang yang mengatur soal gratifikasi seksual masih terus dirumuskan.

Namun Juru bicara KPK Johan Budi menyatakan tidak perlu ada aturan baru untuk gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual karena hal itu sudah tercakup dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 12 b UU itu disebutkan gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. “Gratifikasi seks termasuk dalam kategori fasilitas lain,” katanya.

Sementara itu, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), menilai, gratifikasi seks tak berdiri sendiri. Gratifikasi ini merupakan pelengkap gratifikasi materi untuk mempengaruhi pejabat negara terkait proyek di pemerintahan.

"Tetap saja kalau dilihat instrumen yang digunakan dalam gratifikasi itu memang paling utama adalah uang atau pemberian material lain misalnya properti," tutur peneliti Pukat UGM, Oce Madril.

Pelayanan seks, menurut dia, termasuk imateril sehingga tidak bisa diukur dengan tolak ukur fisik pembuktiannya. Kendati demikian, lanjut dia, bukan berarti KPK bisa memaksimalkan kewenangan penyadapannya. "Ini mungkin akan terungkap karena pembuktiannya sulit tapi kewenangan penyadapan KPK bisa digunakan," ujarnya.

Dia menegaskan, dari data Pukat UGM, selama ini gratifikasi dalam bentuk properti merupakan jenis yang paling banyak, dan juga barang-barang mewah serta mobil.

Selain itu, ungkap dia, gratifikasi pelayanan seks selama ini tidak pernah terungkap karena hanya dijadikan pelengkap. "Ini jadi masalah karena jika ada penyelenggara negara menerima gratifikasi, dia tidak mau melaporkan dan cerita," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement