REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Usaha dalam sektor tempe dan tahu memerlukan sentuhan teknologi dalam pengelolaannya. Pasalnya, pelaku usaha di sektor ini seringkali tidak mempunyai izin usaha yang berakibat pada standar keamanan juga sanitasi yang masih rendah.
''Penerapan teknologi dalam usaha tahu tempe itu perlu untuk meningkatkan kualitas dan produksi,'' kata Edhie Rahmat, Project Officer dalam bidang Kesehatan dan Ketahanan Pangan, Delegation of the Europian Union to Indonesia, Brunai and ASEAN kepada wartawan, Rabu (13/2).
Ia mengatakan saat ini, para pengusaha tempe tahu di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta sedang menikmati bantuan dalam rangka Transfer Teknologi untuk Petani Kecil yang digagas oleh Center for the Alleviation of Poverty through Sustainable Agricultur (CAPSA) yang bekerja sama dengan Uni Eropa (EU) dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
''Sekitar 1,2 juta Euro digelontorkan untuk pengembangan teknologi dalam produksi tahu tempe dan technical assistant dalam mengedukasi masyarakat tentang kualitas tempe tahu yang baik,'' kata dia.
Para pengusaha tempe diberikan wawasan lebih atau training untuk meningkatkan hasil produksi mereka. Selain itu, terdapat pemberian materi edukasi mengenai upaya penggunaan energi yang ramah lingkungan dalam produksi tempe tahu.
Ternyata, asap yang bersumber dari pembakaran bahan kayu menjadi salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Sementara, proses produksi tempe tradisional masih menggunakan cara tersebut dalam pengolahannya.
''Petani-petani ini diedukasi untuk lebih ramah lingkungan,'' kata Edhie. Selain itu, ia menilai, dengan program penerapan teknologi yang lebih efisien, petani dapat melebarkan akses usaha sehingga meningkatkan kesejahteraannya.
Program yang berjalan selama lima tahun sejak 2012 ini, menurutnya, memiliki efek yang cukup baik bagi pengusaha tempe. ''Sampai saat ini memang belum ada evaluasi program, namun selama proses ini berjalan hasilnya cukup baik,'' kata Edhie.