REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Larangan pemberian bantuan APBD pada Madrasah dinilai menyulitkan pengembangan sekolah Islam di daerah-daerah. Pasalnya, bantuan pengembangan Madrasah praktis hanya bersumber dari Kementerian Agama saja.
Padahal, anggaran yang disediakan Kemenag untuk Madrasah masih sangat kurang. Sementara kewajiban negara adalah bertanggungjawab atas pencerdasan anak bangsa. Kondisi itu menegaskan posisi Madrasah sebagai anak tiri dalam dunia pendidikan Nasional.
Direktur Pendidikan Madrasah, Kemenag, Dedi Djubaedi mengungkapkan, meskipun pendanaan Madrasah sentralisasi dan tidak menggunakan APBD, dirinya harus memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk dioptimalkan.
"Kewajiban pemerintahkan mencerdaskan anak bangsa, harusnya tidak ada pembedaan Madrasah dan sekolah," ungkap dia pada Republika, Rabu (2/1).
Saat ini, jumlah Madrasah dan Roudhatul Atfal (taman kanak-kanak) di Indonesia lebih dari 67.300an unit. Dari jumlah itu, sekitar 91,6 persen merupakan Madrasah swasta. Kurang dari 9 persen merupakan Madrasah negeri. Madrasah swasta juga memeroleh bantuan dari Kemenag, melalui rintisan Bantuan Operasional Siswa (BOS), sedangkan Madrasah Negeri memeroleh DIPA.
Dedi mengaku anggaran untuk pengembangan Madrasah memang sangat sedikit. Kondisi itu membuat bantuan APBD sangat menunjang kemajuan Madrasah itui.
Tahun 2013 ini, Kemenag hanya mampu memberi bantuan Rehabilitasi dan pengadaan Ruang Kelas Baru (RKB) untuk 80 persen Madrasah Negeri. Artinya, kurang dari 8 persen dari keseluruhan Madrasah yang memeroleh DIPA pemerintah. Tiap Madrasah hanya mendapat bantuan Rehab sebesar Rp. 65 juta.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Ahmad Jabir menilai larangan penggunaan APBD untuk madrasah merupakan kebijakan yang 'aneh'. Menurut dia, kebijakan ini perlu dievaluasi kembali karena dampaknya pada masyarakat. Terlebih, Jawa Timur merupakan basis terbanyak madrasah di Indonesia.
"Ini menimbulkan diskriminasi kepada warga atau masyarakat yang mestinya mendapatkan fasilitas pendidikan yang baik dan layak," ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut