Kamis 27 Dec 2012 15:44 WIB

Layanan Medis AIDS Berbelit dan tak Ramah, Pasien Merasa Disulitkan

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari

YOGYAKARTA--Pelayanan terhadap ODHA (Orang Dengan HIV&AIDS) di Yogyakarta masih menjadi kendala  dalam penanggulangan HIV&AIDS.

''Terutama pelayanan yang lama dan tidak simpel, ganti-ganti dokter,membuat ODHA menjadi malas untuk melakukan pengobatan sehingga mereka pun  drop out dalam menjalani pengobatan,''kata Koselor Voluntary , Counseling and Testing (VCT) Griya Lentera PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)  Novianto  di Yogyakarta, Kamis (27/12).

Dia mengungkapkan komunitas HIV & AIDS sampai sekarang belum sepenuhnya bisa menerima layanan dengan baik. ''Kebijakan gratis tidak semua layanan gratis," ujarnya.

Ia mencontohkan untuk  konfirmasi HIV&AIDS di satu rumah sakit swasta bisa gratis karena ada kesepakatan cukup dengan tiga reagen rapid. Tapi ironisnya di rumah sakit besar milik pemerintah untuk konfirmasi HIV&AIDS malah harus membayar mahal.

Alasannya ada standar layanan yang harus menggunakan tes elisa, padahal untuk sekali test biayanya sekitar Rp 165 ribu. Tentu saja ini membebani masyarakat yang tidak mampu.

Di samping itu belum  ada sebuah sistem yang "ramah" bagi pelayanan HIV& AIDS.  Misalnya jam layanan pukul 09.00-13.00 tetapi dokternya baru datang pada  jam 13.00.

Belum lagi dokter yang melayani pun sering gonta-ganti terutama di rumah sakit pendidikan. Situasi itu jelas membuat pasien tidak nyaman dan memutuskan pindah.

Itu tak termasuk ODHA yang harus menunggu berjam-jam meski hanya sekadara ingin mendapatkan obat. Kondisi itu  juga diakui oleh Aktivis HIV/AID,  Ipong. ''Saya kalau mau mendapatkan obat  harus nunggu dari pagi hingga siang hari di rumah sakit, karena orang yang mengurusi untuk HIV/AIDS orang tertentu," tuturnya.

"Kalau orangnya tidak ada harus nunggu. Jadi kalau mau mengambil obat harus cuti kerja. Mau sehat saja kok ribet," keluhnya. Diakui Ipong, banyak ODHA yang putus obat karena masalah tersebut. Kasus seperti itu tidak hanya dialami di Yogyakarta tetapi juga di Jakarta.

''Saya sendiri  pernah mau pindah ke Jakarta tetapi ternyata untuk mendapatkan pengobatan ribet, " ungkap Ipong. Ketika itu ia datang Jakarta hanya membawa kartu berobat dari Yogyakarta. Tapi di sana ia harus mengurus pindah surat rujukan dan juga wajib menjalani tes ulang.

"Seolah-olah tidak percaya. Akhirnya saya tidak jadi pindah ke Jakarta  dan kembali ke Yogya lagi,''ungkapnya.

Padahal menurut Novianto ketentuan dalam pengobatan HIV/AIDS harus kontinyu tidak berhenti. Sementara  layanan untuk pasien HIV&AIDS belum cukup menjawab kebutuhan. ''Persoalan ini dikhawatirkan bisa menghambat penanggulangan HIV/AIDS di Yogyakarta,''ungkap dia.

REPUBLIKA.CO.ID,

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement