Kamis 20 Dec 2012 01:30 WIB

Komisi VIII Akui Kedodoran Awasi Halal-Haram Produk

Rep: Ira Sasmita/ Red: Hafidz Muftisany
Anggota DPR asal PKS Nasir Djamil (kiri)
Foto: Antara
Anggota DPR asal PKS Nasir Djamil (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR mengakui pengawasan halal atau haramnya produk-produk yang dikonsumsi masyarakat masih kedororan. Ketiadaan payung hukum, keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran disebut sebagai penyebabnya.

"Masih kedodoran, ga bisa menggantungkan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) saja. Mereka juga ga bisa mengawasi terlalu sering, kan dananya terbatas, orangnya juga kurang," kata anggota komisi VIII Nasir Djamil saat dihubungi Republika, Rabu (19/12).

Karena itu, melalui Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), dikatakan Nasir, sistem pengawasan terpadu, terencana, dan menyeluruh bisa diciptakan. Dan negara menjadi aktor utama yang berwewenang serta bertanggungjawab dalam mengatur peredaran produk-produk tersebut.

Selama ini, MUI adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal dan haram. Sedangkan pelabelan dan pengawasan dilakukan BPOM. Sistem kegiatan itu juga masih dilakukan secara terpisah.

"Kalau ada kasus kayak kemarin bakso halal tapi mengandung bahan haram, ya MUI atau BPOM ga mau disalahin. Bukan salah mereka juga, mau disanksi ga bisa, karena belum ada aturan hukumnya," ungkap politisi PKS itu.

Panitia Kerja RUU JPH, disebut Nasir mengusulkan dibentuk Badan Nasional Jaminan Produk Halal, yang dipayungi Kementerian Agama.

Di bawah badan itu, pelayanan, standarisasi, mekanisme pengawasan produk halal akan dilakukan. Sehingga tercipta pelayanan satu pintu dan tidak terpisah-pisah. Namun, usulan tersebut masih dimentahkan Kemenag karena persoalan anggaran.

"Ini juga yang membuat pembahasan RUU JPH masih alot. Belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR mengenai hal ini," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement