Jumat 14 Dec 2012 14:44 WIB

'Andai Saja Saya Warga Malaysia' (bagian 1)

Sejumlah perahu 'katinting' menjadi satu-satunya sarana transportasi warga dari Pulau Nunukan ke Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Foto: Antara/M Rusman
Sejumlah perahu 'katinting' menjadi satu-satunya sarana transportasi warga dari Pulau Nunukan ke Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mansyur Faqih, (wartawan Republika)

“Kadang saya berpikir, enak sekali orang seberang itu. Andai saya juga bisa jadi warga Malaysia .’’Abdul Halim, warga Sebatik.

Sebatik menjadi salah satu wilayah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan daerah Malaysia. Jurang perbedaan antara dua wilayah tersebut terlalu tinggi. Jangan dulu bicara soal pendidikan dan kesehatan untuk hal-hal dasar pun masyarakat Sebatik masih kekurangan.

Di Sebatik, beberapa bagian jalan memang sudah diaspal. Namun, kondisinya masih belum memuaskan. Banyak  jalan yang masih rusak parah. Warga pun lebih memilih diam di rumah serta tak bepergian ketika hujan. Pasalnya, jalan akan tertutup air dan lumpur begitu hujan turun sehingga tak memungkinkan untuk dilewati.

Air juga menjadi masalah lain bagi masyarakat Sebatik. Alamsyah misalnya. Dia mengeluhkan susahnya mendapatkan air bersih di wilayahnya. Jangankan untuk minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian pun sulit didapat.

“Kita bisa beli air ukuran kecil, harganya sekitar Rp 150 ribu. Itu kalau hanya untuk mandi, paling dua hari,” tutur pria yang biasa berniaga di Malaysia tersebut kepada Republika, Rabu (12/12).

Ia pun lebih memilih mandi di negeri Jiran yang dapat dilakukannya di toilet umum ketika ia menjajakan dagangannya. Itu hanya dengan merogoh kocek sebesar 1 Ringgit atau sekitar Rp 3.150.  

Tak hanya air, masyarakat Sebatik juga mengimpor barang kebutuhan sehari-hari. Mulai dari bahan pangan, seperti sembako dan penganan ringan hingga gas yang digunakan untuk memasak. Menurut masyarakat, ini karena sulit untuk mendapatkan barang dari Indonesia .

“Saya barang dari Malaysia kebanyakan. Harga juga lebih murah, karena Indonesia kirimnya itu lebih jauh,” papar Fitriyani yang membuka warung kelontong di sekitar perbatasan.

Ringgit pun lebih dipilih sebagai alat pembayaran. Menurut Alamsyah, ini lantaran membeli barang yang sama dengan menggunakan Rupiah malah lebih mahal. Apalagi kalau barang itu berasal dari Malaysia yang pembeliannya juga menggunakan Ringgit.

Popularitas Ringgit di Sebatik juga didorong oleh banyaknya masyarakat yang mencari nafkah di Malaysia . Entah itu bekerja atau menjajakan hasil alamnya di sana. Maka, upah atau bayaran yang mereka dapatkan pun berbentuk Ringgit. Alhasil, semakin sedikit yang menggunakan Rupiah dan malah memilih memegang Ringgit.

“Kita di sini susah dapat Rupiah. Kita dapatnya itu Ringgit, Rupiah tidak laku,” tambah Alamsyah.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement