REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Peningkatan jumlah pengangguran intelektual di Indonesia dinilai akibat dua faktor. Pertama, karena kompetensi mahasiswa yang kurang. Kedua, jumlah lapangan pekerjaan di Indonesia memang tidak terlalu banyak. “Sistem pendidikan di Indonesia yang terlalu berorientasi ke bidang akademik juga menjadi masalah,” kata Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel Rosyid, Senin (3/12) memberikan penilaiannya.
Menurut dia, kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik. Hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya mencari kerja. Mereka tidak memikirkan cara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. “Coba kalau pendidikan vokasi diperbanyak, jumlah pengangguran intelektual tidak bakal sebanyak sekarang,” ujar Daniel.
Ia menilai, kurikulum pendidikan memang tidak selalu cocok dengan tuntutan dunia kerja. Namun Daniel menuding faktor utama lebih pada banyaknya jurusan sosial yang dibuka di sebuah universitas. Adapun pendirian politeknik maupun institut rasionya dibanding universitas sangat kecil.
Padahal lulusan politeknik maupun institut sangat dibutuhkan kalangan industri. “Masalahnya banyak kampus yang menjual ijazah dengan mudahnya tanpa memperhatikan kualitas lulusan,” kata Daniel.
Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) itu menyarankan, ke depannya pemerintah diharapkan untuk meningkatkan jumlah pendidikan vokasional. Cara itu dinilai Daniel sangat efektif sebab setidaknya bakal melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan khusus sebelum terjun ke dunia kerja.
“Kurangi sarjana akademik, dan perbanyak sarjana yang memiliki skill. Ini cara tercepat mengurangi jumlah pengangguran terdidik.” n