Jumat 30 Nov 2012 20:47 WIB

Legalnya TPS Liar di Ibu Kota

Tempat Pembuangan Sampah
Foto: Antara
Tempat Pembuangan Sampah

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: A Syalaby Ichsan (wartawan Republika)

Matanya awas melihat sekitar. Dari bawah tebing, dia mengendap-endap. Ratusan kuburan di Tempat Pemakaman Umum itu tidak membuat nyalinya bergidik. Pelan-pelan, pria kurus berambut gondrong ini mendaki. Sambil menunggu deru suara mesin.

Tak mudah bagi pemulung itu untuk mencapai tempat pembuangan sampah setinggi tiga tubuh orang dewasa. Perjuangan  harus dilalui sebelum mendaki. Dia harus menyeberang kali ciliwung dengan perahu buatan berbahan gabus. Menuju tebing yang masih  terletak di bantaran ciliwung. Dari kali, jaraknya hanya berkisar sepuluh meter.

Seperti rakit penyeberangan, perahu gabus itu menggunakan tambang yang diikatkan ke pohon di bawah tebing dan pohon di seberang sungai. Wahyu,  saban hari  menyeberang dari rumah kontrakannya di seberang untuk memulung di TPS  yang saat ini sudah menjadi bukit.

Dergregregreerr. Bunyi mesin motor gerobak membuat Wahyu semakin terjaga. Dia masih menanti suara lainnya. Bunyi tarikan gas. Inilah yang  menjadi tiket buat Wahyu untuk  menanjak ke permukaan. Setelah terdengar, ragunya pun pupus. Langkahnya kian panjang untuk sampai ke puncak.

Wahyu dan empat pemulung lainnya  tiba. Di atas, terhampar lapangan sampah yang luasnya berkisar limaratus meter. Lalat menggerubungi sampah-sampah yang baru datang tadi pagi. Ditemani puluhan burung gereja yang sedang mematuk-matuk sisa-sisa makanan.

Sampah basah dan sampah kering baur menjadi satu. Beruntung, musim kemarau yang panjang dapat mengurangi bau busuk timbunan sampah yang sekarang sudah menjadi gundukan raksasa. Tanpa ada yang mengawasi, Wahyu kini leluasa memilah sampah untuk masuk ke dalam karung.

Buat Wahyu, bukit sampah ini adalah penghidupan.  Gelas, botol, steoroform, kardus, masuk ke karung yang besarnya hampir menutup tubuh Wahyu. Dia akan membawa karung ke'gudang'nya di seberang kali. Lalu dijual ke penadah di Poltangan, Pasar Minggu. Di Poltangan, Wahyu dapat mendulang Rp 30.000 sampai dengan Rp 50.000 dari hasil pulungannya.

Tanpa membuang waktu, ganco di tangan kanannya memilah sampah plastik yang sekiranya masih mempunyai nilai ekonomi. "Ini sisa-sisanya aja bekas yang punya,"keluh Wahyu sambil tetap mencongkel sampah. Jam operasi mereka terbatas dari pukul 14.00 WIB hingga senja. Dalam waktu yang singkat ini, karung Wahyu harus penuh. Demi sedikit nafkah untuk makan anak dan isterinya yang sudah menunggu di rumah kontrakannya di seberang sana.

Dua jam sebelumnya, di tempat yang sama. Siang itu, perempuan paruh baya tengah berteduh dari panas yang menghujam. Tikar digelar di dekat gubuk beratapkan triplek, berdinding spanduk, bertiang bambu. Gubuk itu memang bukan tempat tinggal. Hanya untuk  menyimpan keranjang bambu pengumpul sampah.

Di tikar itu, tangan legam sesosok perempuan masih sibuk dengan botol dan gelas plastik. Sementara suaranya, sesekali terdengar memberi instruksi kepada tiga pria yang tengah memulung  di tengah lapangan sampah. Seorang lelaki lain sedang beristirahat. Lelaki lainnya sedang sibuk di gerobak motor. .

"Hoi yang itu," seru Siti kepada lelaki ringkih di tengah lapangan. Mahmudi langsung bergegas untuk mengambil kardus yang ditunjuk isterinya. Pasangan suami isteri itu, Siti Chotimah dan Mahmudi, bukan warga Balekambang. KTP nya masih menunjukkan alamatnya di Kecamatan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Hanya, Siti dan keluarganya memang sudah lama 'berprofesi' sebagai penunggu TPS. Lima tahun terakhir, mereka  mengelola lapangan sampah yang letaknya persis di belakang TPU.

Gundukan sampah itu memang semakin meluas. Setiap hari, ada limabelas gerobak yang menyumbang sampah ke gundukan itu. Sementara Siti dan keluarga hanya mengambil satu gerobak motor per hari untuk dijual. Sedangkan pemulung seperti Wahyu, hanya sanggup mengambil sekarung sampah.

Untuk mengurangi volume, anak-anak Siti membakar sampah yang tidak terpakai. Ini bisa terlihat dari badan bukit yang gosong. Kepulan asap pun kerap mengembul dari TPS. Cuma, Siti menyanggahnya. Dia mengaku tidak pernah menyuruh dan membakar sampah.

Menurutnya, membakar sampah bakal menimbulkan protes warga. "Kalau yang itu cuma iseng aja,"ujar Siti. Siti dan suami bekerja dengan lima anak dan menantu. Dia mengumpulkan sampah plastik kardus, dan triplek, untuk dijual kembali ke pengepul di Kampung Tengah, Jakarta Timur. Setiap hari, Siti mengaku bisa mendapatkan uang hasil menjual sampah ke penadah, Rp 150.000  per hari. Jika dikali duapuluh enam hari kerja - Jumat libur - maka pemasukan yang diperoleh Siti dapat mencapai Rp 3.900.000 per bulan.

Belum lagi setoran dari limabelas gerobak yang masuk ke TPS. Setiap bulannya, Siti bisa mendapat uang Rp 50.000 hingga Rp 150.000 dari setiap gerobak. Jika di rata-rata, maka Siti mendapatkan uang berkisar Rp 2000.000 tambahan. Uang itu bakal dibayarkan ke H. Musa, si pemilik lahan, sebesar Rp 1.500.000 setiap bulan. Sisanya, masuk ke periuk Siti. Walhasil, pendapatan kotor Siti sekitar Rp 4.500.000 setiap bulan.

Buat Siti, pendapatan yang sudah dua kali Upah Minimum Regional itu pas-pasan. Siti mengaku uangnya habis untuk biaya kontrakan dan makan anak, menantu, dan dua cucunya. Oleh karenanya, Siti menganggap pemulung-pemulung seperti Wahyu adalah parasit. Mereka memunguti sampah-sampah plastik yang seharusnya menjadi tambahan buat Siti. Cuma, nenek itu masih bertoleransi selama pemulung beroperasi di bawah. Siti pun memasang pagar dan pintu masuk untuk menghalangi pemulung masuk.

 

Siti pertama kali datang ke lahan itu pada 2007. Kedatangan Siti untuk memenuhi syarat H.Musa. Lahan itu bakal dijadikan TPS jika ada yang mau mengelola. Pihak kelurahan memang tengah mencari  Tempat pembuangan sampah. Pasalnya, TPS yang berada di Jl. Munggang -- masih di bantaran kali -- memang sulit diakses. Jalannya yang beraspal ketika itu mengalami longsor. Sisanya, retak-retak akibat banjir besar pada 2004 silam. "Saya juga yang mengelola disana,"ujar Siti.

Setelah tiga tahun tidak memiliki TPS, warga kemudian mendapatkan ganti tempat membuang sampah di lahan kosong di dalam komplek TPU. Lahan H.Musa yang lokasinya persis di depan kantor kelurahan.Lurah Balekambang, Ahmad Maulana, mengakui kalau TPS itu illegal. Letaknya yang berada di bantaran kali memang menjadi catatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta kalau warga seharusnya tidak membuang sampah disana. Bahkan, TPS komplek TPU bukan satu-satunya di Balekambang. BPLHD DKI Jakarta mencatat ada tujuh TPS liar di bantaran kali ciliwung yang ada di kelurahan itu.

Hanya, Maulana mengaku sulit menutup TPS-TPS itu. Menurutnya, sudah tidak ada lagi lahan kosong yang bisa dijadikan tempatpembuangan sampah. Bahkan, di bantaran kali pun kini sudah penuh dengan rumah. Maulana pun harus memberi toleransi kepada TPS liar tersebut. Jika tidak, ujar Maulana, kemana warga Balekambang akan membuang sampah?"Emang illegal tapi saya gak bakal tutup. Apa saya mau didemo warga?"ungkap Maulana.

Kebutuhan warga akan lahan kosong ini disambut H.  Musa. Pria paruh baya inimendapatkan warisan tanah  seluas 1.500 meter dari ayahnya, H. Abdurrahman yang telah wafat. Dia pun menyewakan lahannya kepada Siti demi mengisi kebutuhan hidupnya yang telah senja.

Meski begitu,  usianya yang sudah menyentuh ke angka enampuluh tidak mengganggu ingatannya betapa rindang lahan itu dahulu. Pohon dukuh, rambutan, durian, berderet rimbun di bawah tebing. Bila musim buah tiba, H.Abdurrahman akan mengajak Musa muda untuk mememetik buah dan menjualnya di pasar minggu. "Bisa dibilang penghasilan kita dari situ,"ungkap Musa.

Namun, jika tidak sedang panen, Abdurrahman mengandalkan deretan pohon bambu yang ditanam di pinggir kali. Abdurrahman akan menebang bambu-bambu uzur, untuk kemudian membuat rakit. Hasil rakit yang disebut getek itu akan dijual ke kampung melayu.

Hanya, banjir besar pada tahun 1997 dan 2002 mematikan sebagian pohon Abdurahman. Lebih-lebih ketika warga Balekambang mulai membuang sampah di lahan itu pada 2007. Maka, habislah semua pohon buah itu. Masih tersisa tiga rumpun bambu dan beberapa pohon pisang yang sudah tidak berbuah. Musa pun hanya bisa pasrah. Pensiunan perusahaan BUMN ternama itu berdoa agar gundukan sampah tidak sampai ke kali ciliwung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement