REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kelompok Kerja Aliansi Kebebasan Beragama Berkeyakinan Jawa Timur segera melaporkan nasib 284 pengungsi Sampang ke PBB/UNHCR sebagai 'Internally Displaced Persons' atau pengungsi lokal yang terlantar di negaranya, karena tidak menerima jatah makan sejak 19 November.
"Ratusan pengungsi dari komunitas Syiah Sampang di GOR Sampang sekarang kritis, karena bantuan jatah makanan, minuman, dan air bersih untuk mereka sudah distop sejak 19 November lalu," kata anggota Pokja AKBB Jatim Johan Avie di Kantor LBH Surabaya, Jumat (30/11).
Didampingi sejumlah aktivis/pegiat AKBB Jatim, semisal Akhol Firdaus (koordinator AKBB), Suparman (LBH Surabaya), dan Wahyuni W (Jaringan GUSDURian Indonesia), ia menduga penghentian jatah konsumsi itu merupakan bagian dari tekanan Pemkab Sampang agar pengungsi menerima relokasi.
"Tekanan itu cukup kentara, buktinya ketika ada seorang pengungsi yang berobat, maka petugas kesehatan justru mengatakan agar ia ikut tawaran pemerintah daripada sakit-sakitan atau kembali ke Sunni saja," katanya.
Menurut Asisten Kepala Departemen Pendidikan dan Publikasi CMARs Jatim itu, intimidasi serupa juga sering diterima para pengungsi dari tim Tagana, Satpol PP, Bakesbangpol, dan sebagainya.
"Yang jelas, pengungsi tidak ingin direlokasi, karena mereka ingin kembali ke kampung halaman dengan aman atau ada jaminan keamanan dari aparat kepolisian. Mereka ingin menggarap lahan miliknya di lokasi kejadian," katanya.
Namun, katanya, keinginan itu sudah pernah disampaikan ke Pemkab Sampang, tapi mereka justru tidak bisa menjamin keamanan itu dan meminta untuk memilih dua opsi yakni keluar dari Sampang atau kembali ke Sunni. "Jadi, negara gagal," katanya.
Oleh karena itu, AKBB tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melaporkan nasib pengungsi ke IDP. "Sejak 19 November lalu, para pengungsi makan dari bantuan relawan dan memasak sendiri, tapi ada juga Bu Sabar yang akhirnya mengalami pendarahan dan terpaksa dioperasi di RS Sampang," katanya.
Informasi yang diterima AKBB dari Bakesbangpol Sampang menyebutkan penghentian jatah konsumsi itu karena alokasi dana untuk penanganan pengungsi dari Pemprov Jatim sudah habis, sebab dana untuk pengungsi itu juga untuk menjamin sekitar seribu personel keamanan dan petugas teknis urusan pengungsi.
"Kami berharap IDP akan mendesak pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi atau memulangkan mereka dengan memberi jaminan keamanan. Negara harus menjamin hak hidup bagi kelompok mayoritas dan minoritas," katanya.
Pokja AKBB Jatim terdiri dari 12 LSM yakni LBH Surabaya, CMARs Surabaya, GKI Sinode Jatim, PusHAM Unair, JIAD Jatim, GUSDURian Jatim, KPI Jatim, Yayasan Maryam, Sapulidi Surabaya, PMII Jatim, KSGK, dan KPPD Surabaya.