Jumat 30 Nov 2012 17:34 WIB

Belajar Kebersamaan dari Nenek Tengger

Perempuan tua dari Suku Tengger membawa kayu bakar dan makanan ternak di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Perempuan tua dari Suku Tengger membawa kayu bakar dan makanan ternak di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Menjadi tua bukan berarti membuat fisik makin melemah. Tidak percaya? Tanya saja hal itu kepada warga suku Tengger. Tinggal di dataran tinggi membuat mereka dikaruniai kekuatan fisik luar biasa. Itu wajar lantaran suku Tengger banyak mendiami wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berada di kisaran ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut (dpl).

Kita akan menjumpai mereka kalau ingin melakukan perjalanan wisata ke gunung Bromo maupun melakukan pendakian ke gunung Semeru. Jumlah mereka ribuan yang tersebar di wilayah Kabupaten Probolinggo maupun Kabupaten Malang. Ciri mengenali warga Tengger adalah mereka mengenakan sarung sebagai pelapis jaket untuk mengusir rasa dingin.

Dari beberapa pengalaman saya melakukan perjalanan ke gunung Bromo maupun Ranu Pane yang masuk Kabupaten Lumajang, saya menikmati pemandangan luar biasa. Hasil interaksi dengan mereka memberikan pelajaran tentang apa itu arti kebersamaan. Kalau kaum muda dan prianya sebagian menjadi penyedia jasa kendaraan wisatawan, hampir sisanya warga Tengger bekerja sebagai petani.

Tanah garapan di kiri-kanan rumah menjadi aktivitas yang sehari-hari dilakoni mereka. Karena masih mempertahankan tradisi penggunaan kayu bakar sebagai bahan pemanas badan di malam hari, tidak sedikit di antara wanita tua yang bekerja mencari kayu. Ada pula yang bertugas sebagai pencari rumput untuk binatang ternak, seperti kambing, sapi, atau kuda.

Karena sudah menjadi rutinitas dan ditempa kekuatan alam maka menuanya usia tidak menghalangi mereka untuk melakukan pekerjaan itu. Saya sempat mengabadikan salah satu foto dua nenek yang dengan tegapnya mengangkat beban tumpukan ranting pohon dan sayuran, yang ditaruh di pundaknya.Hal itu kalau dipikir-pikir tentu sangat tidak logis.

Di usia sekitar 60-an tahun, mereka masih mampu menunjukkan potensi kekuatan yang ada dalam diri manusia. Bayangkan, dengan memakai bawahan kain jarik yang membuat langkah kaki tidak leluasa mereka dengan santainya mengangkat beban berat.

Bisa jadi mereka beranggapan sebaliknya dengan menganggap aneh kita yang menggumam dengan aktivitas itu. Namun dengan guratan otot di tangan dan wajah, tanpa menggunakan alas kaki merupakan sebuah pesan bagi kita bahwa kekuatan manusia itu kadang tidak terjangkau akal sehat.Saya menduga, faktor kebersamaan yang membuat mereka bisa tetap kuat.

Memang saat saya berhasil mengabasikan momen itu hanya dua nenek yang tertangkap kamera. Namun biasanya dalam mencari kayu atau rumput itu dilakukan secara bersamaan dalam sebuah kelompok.

Dalam sebuah falsafah, kita tentu ingat ajaran bahwa pekerjaan berat yang dilakukan banyak orang bakal terasa lebih ringan. Itu lantaran kita punya tolok ukur pembanding dan mengetahui intensitas pekerjaan rekan. Sehingga tanpa terasa kalau dilakukan ramai-ramai, sangat mungkin semuanya bisa dilalui.

Lalu apa pesan moralnya? Entah mengapa, kekaguman tentang dua nenek yang mengangkat beban berat itu masih terus terngiang dalam pikiran saya hingga kini. Saya menilai, sebuah pekerjaan seberat apapun kalau dilakukan bersama-sama bakal bisa dijalani. Namun kalau sudah tercemar dengan materi, hasilnya bisa berkebalikan.

Nenek itu bekerja demi dirinya sendiri dan kepuasan yang didapat. Sehingga ketika dirasa fisik tidak mampu lagi menjalaninya, tapi kalau panggilan hati sudah bersuara maka keterbatasan itu bakal menjadi sesuatu yang bisa ditaklukkan. Ada kalanya kita perlu belajar tidak mengeluh dan menjalin rasa kebersamaan yang tulus untuk bisa menjalani pekerjaan berat seperti nenek suku Tengger.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement