REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Pasal 8 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta Pasal 50 Ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas.
"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa (23/10).
Dalam pertimbangannya yang dibacakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, mahkamah menyatakan Pasal 8 dan Pasal 50 tidak mengandung permasalahan, sehingga dalil yang diajukan pemohon dinilai tidak berdasar menurut hukum.
"Pasal 8 dan Pasal 50 menurut pemohon merupakan norma yang tidak mencerminkan ketertiban dan asas kepastian hukum," kata Maria.
Sedangkan terkait dalil pemohon yang menyebutkan terjadinya dualisme kewenangan antara KPK dengan lembaga lain dalam menangani perkara korupsi tidak dapat diterima.
"Meskipun terdapat dualisme penanganan perkara korupsi, namun keduanya tidaklah tumpang tindih karena masing-masing institusi tetap dapat menjalankan kewenangannya," kata Maria.
Dia mengatakan potensi ketidakadilan yang didalilkan pemohon dalam pemberlakuan dua pasal ini telah tertangani.
"Untuk menghilangkan ketidakpastian dan ketidakadilan tersebut KPK diberikan kewenangan khusus untuk melakukan supervisi dan koordinasi," jelasnya.
Seperti diketahui, Farhat Abbas menguji Pasal 8 dan Pasal 50 UU KPK karena dinlai telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pemohon menilai kewenangan KPK berpotensi bertabrakan dengan kewenangan lembaga lain dalam melakukan penyidikan terkait kasus korupsi.
Farhat mengatakan frasa "Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" tidak jelas, sehingga harus diperjelas wewenang penyidikan Kepolisian dan Kejaksaan yang mana dan diatur di Undang-Undang mana yang menjadi hilang atau dihapuskan setelah KPK mulai melakukan penyidikan.