REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dihentikannya pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2012 tentang KPK adalah peristiwa politik yang dramatis. Pangkalnya adalah kuasa rakyat lebih tinggi dari parpol. Itu artinya, para anggota DPR tidak berkutik terjadap tuntutan rakyat.
Demikian disampaikan pengamat politik Alfan Alfian, di Jakarta, Jumat (19/10). "Penghentian pembahasan revisi UU KPK tersebut sudah merupakan peristiwa politik yang cukup dramatis. Parpol (partai politik) pada akhirnya tidak bisa berkutik dari tuntutan rakyat yang cukup keras," pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) itu.
Menurut dia, masyarakat semakin kritis mengawasi kinerja DPR dalam melakukan perbaikan UU tentang pemberantasan korupsi oleh KPK dan DPR memberikan tanggapan baik terhadap aspirasi tersebut. "DPR merespon tekanan dari masyarakat yang intinya agar KPK diberi kesempatan luas untuk menjalankan tugasnya dan tidak didegradasi fungsinya," katanya.
Namun demikian, lanjutnya, hendaknya masyarakat juga sebaiknya tidak terlalu menekan DPR dengan menuntut pencabutan pembahasan revisi UU KPK di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) karena KPK bukan lembaga superbodi yang bebas dari kewenangan perbaikan aturan oleh DPR RI.
"Semua undang-undang memiliki peluang untuk direvisi, termasuk juga UU KPK, karena DPR masih punya kewenangan legislasi. Yang penting adalah masyarakat dapat mengawasi secara kritis," katanya.
Dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI, Rabu (17/10), Baleg akhirnya memutuskan untuk menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Hal itu dilakukan setelah mendapat kritik dari banyak pihak bahwa sejumlah poin dalam revisi UU KPK itu akan melemahkan fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Namun, keputusan pemberhentian itu rupanya bukan menjadi hasil akhir terhadap nasib UU KPK karena DPR akan memanggil Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin guna membahas lebih lanjut dalam Prolegnas.
Sebelumnya, draf yang diajukan oleh Komisi II DPR menuai kritik dari berbagai pihak karena dinilai merupakan upaya untuk melemahkan kinerja KPK dalam memberantas korupsi di Tanah Air.Sejumlah hal yang ingin 'dibenahi' Komisi III dalam UU KPK antara lain menghilangkan kewenangan penuntutan oleh KPK dan mengatur mekanisme penyadapan.