Kamis 18 Oct 2012 10:44 WIB

Koalisi Belasan LSM Minta Golkar Tolak RUU Kamnas

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Hazliansyah
Puluhan elemen masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (17/10). Mereka menuntut agar DPR membatalkan rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional yang dinilai berpotensi mengakibat
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Puluhan elemen masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (17/10). Mereka menuntut agar DPR membatalkan rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional yang dinilai berpotensi mengakibat

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Belasan LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) menemui jajaran Fraksi Partai Golkar di DPR RI untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap RUU Keamanan Nasional. Mereka meminta Partai Golkar berdiri paling depan untuk menolak RUU itu.

Direktur Eksekutif Imparsial yang juga juru bicara KMSRSK, Al Araf, menilai draf terbaru RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang hendak diserahkan pemerintah kepada parlemen pada Kamis (18/10), masih mengandung nuansa sekuritisasi. Draf tersebut masih sebagai versi ekstrim dari politisasi pola pergerakan sekuritisasi.

"Maksudnya, RUU ini membawa politik demokrasi melewati batas aturan yang telah diterapkan," ujar Al Araf bersama puluhan pegiat demokrasi dan HAM yang tergabung dalam KMSRSK, kepada fraksi Golkar, di Jakarta, Kamis (18/10).

Al Araf juga mengatakan, sekuritisasi dalam hal ini, berada di persimpangan antara implementasi demokrasi sebuah pemerintahan atau tindakan otoriter untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. "Yang terjadi kemudian adalah pengerahan militer," tegasnya.

Dicontohkan Al Araf, nuansa sekuritisasi dapat terlihat dari pemberian kewenangan khusus penangkapan dan penyadapan kepada TNI dan BIN sebagaimana dijelaskan Pasal 51 huruf e jo pasal 20 RUU Kamnas. 

"Pemberian kewenangan judicial kepada aktor keamanan yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum itu, bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan mengancam penegakan HAM dan kehidupan demokrasi," urainya.

Ia pun mengingatkan, kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan aparat penegak hukum, yakni Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lain sesuai yang telah ditetapkan Undang-undang.

"Nah, dalam konteks RUU ini, BIN dan TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga keliru bila diberikan kewenangan judicial," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement