REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menginginkan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) serentak dilakukan pada 2014. Namun, kondisi ini mensyaratkan penghapusan presidential threshold (PT) atau semua parpol peserta Pemilu 2014 secara otomatis bisa mengajukan calon presiden (capres).
Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, PKS sepakat dengan wacana pemilu serentak. Sebab, hal ini dapat memberi banyak keuntungan dan kelebihan, baik bagi parpol maupun pemerintah. “Pada prinsipnya, kita setuju karena hal itu bagus dan banyak keuntungan yang bisa didapat,” ujar Hidayat pada Republika.
Hal itu, di antaranya, dapat mengefektifkan dan memaksimalkan demokrasi, mengurangi sengketa politik, menghemat uang, dan waktu. Kata Hidayat, jika pemilu serentak bisa dilakukan maka akan memotong anggaran hingga Rp 150 triliun.
Dalam pandangannya, pemilu serentak untuk pilpres dan pileg bisa dilakukan pada 2014. Sementara, untuk pemilukada serentak bisa dilakukan pada 2015.
Untuk bisa merealisasikan pilpres dan pileg serentak pada 2014, menurut Hidayat, ketentuan presidential threshold harus dihapus. Dijelaskannya, persoalan yang muncul untuk merealisasikan pilpres dan pileg serentak pada 2014 adalah masalah presidential threshold. Sebab, partai-partai baru belum ketahuan besaran perolehan suaranya.
“Kecuali, dengan bereksperimen dan (ketentuan) semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres. Dan, itu berimplikasi pada akan banyak jumlah capresnya,” kata mantan presiden PKS tersebut.
Dengan setiap peserta pemilu bisa mengusung capres maka akan banyak pula capres alternatif yang muncul. “Saya kira bagus karena sesuai keinginan masyarakat sekarang ini yang mau akan hadirnya capres alternatif, jadi meski banyak yah bagus,” tambahnya.
Hidayat berharap, tidak akan ada peraturan peralihan terkait pencapresan ini. “Kami yakin UU-nya bisa segera diselesaikan,” ungkapnya.
Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani juga menyetujui wacana pemilu serentak. Tapi, pelaksanaannya lebih baik dimulai pada 2019.
Berbeda dengan Hidayat, Muzani mengusulkan, presidential threshold tetap digunakan. Ia mengusulkan, parpol di parlemen dapat mengusung capresnya. Artinya, besaran presidential threshold sebanding dengan besaran parliamentary threshold.
Muzani menolak jika ambang batas presidential threshold dibuat 20 persen, seperti Pemilu 2009. “Kalau pengusungan capres disyaratkan 20 persen, itu tak masuk akal,” ungkap Muzani.
Direktur Indo Barometer M Qodari pesimistis pemilu serentak bisa direalisasikan. “Apalagi, bisa direalisasikan pada Pemilu 2014,” ungkapnya.
Dijelaskannya, pemilu serentak 2014 mensyaratkan penghapusan presidential threshold. Padahal, lanjut dia, saat ini partai-partai besar justru punya kecenderungan untuk mempertahankan besaran presidential threshold 20 persen. Bahkan, Partai Golkar mengusulkan menaikkannya menjadi 30 persen.