REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bak gayung bersambut, pemilu serentak mulai mendapat respon dari berbagai pihak, tidak terkecuali dari anggota anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arif Wibowo. Namun, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan ini pemilu serentak baik nasional dan lokal baru bisa diwujudkan pada 2019.
"Saat ini DPR sedang melakukan inisiasi terhadap perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Kami memberi masukan, bagaimana nantinya bisa membangun pemerintahan yang efektif dan stabil," ujar Arif dalam Dialog Interaktif DPD RI dengan tema 'Pemilu Nasional dan Lokal Serentak', di Jakarta, Jumat (18/9).
Pelaksanaan pemilu serentak bisa dilangsungkan pada 2019, lanjut dia, asalkan revisi UU tersebut bisa selesai pada akhir tahun ini. "Kami sedang memikirkan bagaimana cara pelaksanaan yang masuk akal," tambah dia.
Pelaksanaan pilkada serentak tersebut, lanjut dia, akan memancing perdebatan tentang tata cara pelaksanaan pilkada dan pemilu nasional. "Pemilu yang dimungkinkan untuk 2014 adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara serentak, Ini memungkinkan karena sekarang masih ada 18 bulan sebelum pemilu," tuturnya.
Sedangkan untuk pemilu lokal dan nasional baru bisa terwujud pada 2019. Hal tersebut, ditambahkan dia, karena perlunya waktu untuk melakukan transisi kepemimpinan dan penyesuaian lainnya.
Pemilu serentak, kata Arif, juga membawa dampak positif dan negatif bagi parpol. Sisi positif karena parpol yang kalah mempunyai banyak waktu untuk memperbaiki diri, sedangkan negatifnya pemilu serentak merupakan hal yang berat bagi parpol yang kalah.
Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai pelaksanaan pemilu serentak penting untuk segera diwujudkan. Menurut Hadar, ada dua model pelaksanaan pemilu serentak. Pertama adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden yang dilakukan serentak. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah yang juga dilakukan secara serentak.