Kamis 13 Sep 2012 20:58 WIB

Kemenkumham Kaji Ulang Kriteria 'Berkelakuan Baik' untuk Remisi

Remisi (ilustrasi).
Foto: lensaindonesia.com
Remisi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN –- Kementerian Hukum dan HAM merumuskan indikator yang lebih terukur untuk kriteria ‘berkelakuan baik’, yang menjadi salah satu dasar pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat narapidana.

Perumusan indikator ini dilakukan dalam ‘Semiloka Sosialisasi Standar Pelaksanaan Tugas di Lapas dan Rutan’. Kegiatan berlangsung di Kota Medan, Sumatra Utara, Kamis-Sabtu (13-15/9).

“Untuk memberikan ukuran yang lebih terukur dan berkeadilan, dalam memberikan hak narapidana,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, Kamis (13/9/2012). Selama ini, ‘berkelakuan baik’ hanya diukur dari fakta semacam pernah atau tidaknya narapidana dimasukkan ke sel isolasi. Bila tidak pernah, maka satu poin ‘berkelakuan baik’ sudah dikantongi.

Sementara, masuk sel isolasi atau tidak, kerap kali ditentukan dari kejadian yang melibatkan aktivitas fisik. Seperti perkelahian. “Mana ada narapidana korupsi  berkelahi?” ujar Denny memberikan contoh celah ‘tak fair’ dalam pengukuran kriteria ‘berkelakuan baik’.

Syarat narapidana mendapatkan hak karena ‘tidak tercatat dalam Register F’, juga akan dipertajam. Catatan di Register F akan menghapus hak narapidana mendapatkan remisi ataupun keringanan hukuman lain, selama rentang waktu tertentu. Penajaman soal catatan kelakuan selama menjalani hukuman tersebut, antara lain dilakukan dengan memilah kriteria dan jenis pelanggaran yang masuk kategori pelanggaran untuk ‘Register F’.

Whistle Blower

Selain isu soal indikator peringanan hukuman narapidana, semiloka Kementerian Hukum dan HAM juga membahas beragam standar prosedur operasional di instansi tersebut. Salah satunya adalah pembahasan mekanisme ‘whistle blower’ di lingkungan kementerian.

Rujukan kajian mekanisme ‘whistle blower’ antara lain adalah praktik di Kementerian Keuangan. Langkah di kementerian tersebut, yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan, dinilai cukup efektif menembus lingkaran mafia pajak.

Prinsip dari mekanisme whistle blower adalah pelaporan dari sesama pegawai atau dari pihak yang berurusan dengan pegawai, mengenai penyimpangan tugas. Terutama terkait kasus korupsi.

Penyempurnaan SOP

Semiloka ini merupakan amanat Instruksi Presiden nomor 17/2011, tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Kementerian Hukum dan HAM, mendapat amanat untuk menyusun dan menyempurnakan beberapa Standard Operating Procedure (SOP). Seperti, SOP Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, SOP Pengawasan Internal dan Eksternal, SOP Perlindungan Whistle Blower, dan SOP Pelayanan Informasi Pemasyarakatan.

Pembahasan dan perumusan SOP dalam semiloka ini juga merujuk laporan masyarakat dan temuan kementerian, atas praktik yang berjalan di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan. “Harapannya, ada diseminasi dan pemahaman yang sama, soal SOP di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,” kata Denny.

Selain soal indikator berkelakuan baik, sebut Denny, standardisasi soal fasilitas  hunian di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, juga akan dipertegas. Selain untuk menghapus perbedaan di antara terpidana korupsi dengan terpidana kasus pencurian, misalnya, pengaturan soal fasilitas terkait pula dengan pembiayaan instansi pemasyarakatan tersebut.

Denny menambahkan, semiloka juga akan menegaskan ulang SOP terkait tahanan yang sudah overstayed. Yaitu mereka yang sudah habis masa tahanan di setiap level perkara, tetapi tidak juga ada surat permohonan perpanjangan penahanan dari instansi yang berwenang. “Harus dibebaskan demi hukum, kalau memang tak ada surat perpanjangan masa tahanan,” tegas Denny.

 

sumber : siaran pers
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement