REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Seorang gadis asal Provinsi Jabar, nyaris menjadi korban perdagangan manusia (trafficking) karena tergiur akan tawaran untuk meluruskan rambut (rebonding) di Singapura, kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar, Netty Heryawan.
"Saat ini, modus operandi trafficking bukan lagi karena desakan ekonomi atau pendidikan yang rendah, tapi sudah merambah ke yang lain. Yakni faktor gaya hidup. Buktinya tiga bulan lalu, ada seorang gadis dari Jabar yang nyaris menjadi korban trafficking hanya karena tawaran rebonding di Singapura," kata Netty Heryawan, di Kota Bandung, Senin (3/9).
Ia mengatakan, dari kejadian tersebut bisa diketahui bahwa ada semacam pergesaran modus dari perdagangan manusia dari faktor desakan ekonomi menjadi faktor pemenuhan gaya hidup. "Memang, mayoritas itu karena faktor ekonomi kemudikan faktor pendidikan dan sekarang ada lagi yakni faktor pemenuhan akan gaya hidup," kata Netty.
Menurut dia, terkadang korban perdagangan manusia juga rata-rata tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban trafficking sehingga hal tersebut menyulitkan pihaknya dalam menyelesaikan permasalahan trafficking.
"Modusnya tidak kelihatan, orang ngak sadar kalau dia jadi korban (trafficking). Contohnya, ada seorang gadis ditawarkan ngisi acara kebudayaan atau jadi duta budaya di Jepang. Sesampainya di Jepang malah jadi pekerja seks komersial," ujarnya.
Terkait penuturkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Gumelar yang menyatakan bahwa Provinsi Jawa Barat menempati peringkat pertama dalam kasus perdagangan manusia, Netty memiliki pandangan tersendiri.
"Kalau konteks angka, memang menurut Bareskrim Jabar tertinggi dibandingkan Kalimantan Tengah, yakni 700 sekian. Tapi kalau dibandingkan Kalbar yang jumlah pendudukannya empat juta orang, angka di Jabar tentunya kecil," kata dia.
Sebelumnya, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat menuturkan selama dua tahun melaksanakan tugasnya, P2TP2A telah berhasil menangani sebanyak 338 kasus yang terdiri dari kasus KDRT, perdagangan manusia, dan lain-lain.
Ketua Divisi Informasi dan Dokumentas P2TP2A Jawa Barat Dedeh Fardiah, mengatakan kasus yang sudah ditangani oleh pihaknya terdiri dari kasus yang dialami oleh perempuan dan anak-anak.
"Sejak didirikan dua tahun lalu hingga awal Juli 2012, jumlah kasus yang ditangani mencapai 338 kasus. Penanganannya dan kondisi korban beragam," kata dia.
Adapun rincian dari 338 kasus yang ditangani oleh P2TP2A Jabar, kata Dedeh, ialah sebanyak 193 kasus penjualan perempuan dan anak (trafficking). Kemudian 85 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 40 kekerasan terhadap anak (KTA), dua kekerasan dalam pergaulan (KDP) dan 18 kasus lainnya.
Ia menjelaskan, kasus yang dialami perempuan terdiri atas kasus "trafficking" dan KDRT sedangkan kasus yang dialami anak-anak adalah kasus pelecehan seksual dan anak jalanan. "Penanganannya sendiri perlu pembahasan bersama. Pelaksanaannya perlu mengevaluasi dan mengkaji apa yang sudah dilakukan kami," kata dia.
Dikatakannya, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Jabar selama ini menjadi persoalan yang sangat krusial. "Hal itu dikarenakan Jabar menjadi provinsi terbanyak dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," ujar dia.