REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan modus baru yang dilakukan dalam kasus suap pengurusan izin tinggal dua orang warga negara asing (WNA) di kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut Alex, diduga dua penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA berinisial BGW dan MK. Keduanya diduga menyalahgunakan izin tinggal.
"Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja dl Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 Huruf a Undang Undang Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian," terang Alex di Gedung KPK Jakarta, Selasa (28/5).
Kemudian, Liliana selaku perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara bernegosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram. Hal itu dilakukannya agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut. Pada Rabu (22/5) lalu, Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidlkan untuk dua WNA tersebut.
Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan kantor Imigrasi Klas 1 Mataram, Yusriansyah Fazrin kemudian menghubungi Liliana untuk mengambil SPDP tersebut. Permintaan pengambilan SPDP ini, lanjut Alex, dlduga sebagai "kode" menaikkan harga untuk kasus ini terhenti.
Liliana kemudian menawarkan uang sebesar Rp 300 juta untuk menghentikan kasus tersebut. Namun, Yusriansah diketahui menolaknya karena menilai jumlah itu masih sedikit.
Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut Yusriansah berkoordinasi dengan atasannya Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram, Kurniadie. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.
"Dalam OTT ini, KPK mengungkap modus baru yang digunakan ketiganya dalam negosiasi uang suap, yaitu: menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian Yusriansah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan," ungkap Alex.
Akhirnya disepakatl jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar. Metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu Liliana memasukan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampal di depan ruangan Yusriansah, tas kresek hltam berisi uang Rp 1,2 Milyar kersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan Yusriansah. Yusriansah kemudian memerimahkan BWI stafnya mengambil uang tersebut dan membagi Rp 800 juta untuk Kurniadie.
"Penyerahan uang pada KUR adalah dengan cara meletakkan di ember merah," terang Alex.
Kurniadie kemudlan meminta plhak Iain untuk menyetorkan Rp340 juta ke rekenlngnya dI sebuah bank. Sisanya Rp500 juta akan diperuntukkan pada pihak lain. "Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi. yaitu: 'makasi, buat pulkam,'" ungkap Alex lagi.
Dalam perkara ini, KPK resmi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Tiga tersangka yang ditetapkan yakni Kurniadie selaku Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram, Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan kantor Imigrasi Klas 1 Mataram, Yusriansyah Fazrin, serta Direktur PT Wisata Bahagia, Liliana Hidayat.
Atas perbuatannya, Liliana sebagai penyuap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
Sementara, Kurniadie dan Yusriansah dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.