Jumat 31 Aug 2012 14:28 WIB

Tukang Gigi Gugat UU MK

Ilustrasi.
Foto: ANTARA
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dua orang tukang gigi, Mahendra Budianta dan Arifin, mengajukan permohonan uji materi Pasal 55 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dihentikannya gugatan mereka ke Mahkamah Agung (MA).

"Pasal 55 UU MK mengatur apabila ada pengujian peraturan di bawah UU yang sedang diuji di MA, sementara UU itu sendiri juga sedang diuji di MK, maka gugatan yang di MA itu wajib dihentikan," kata Kuasa Hukum Pemohon, Mohammad Sholeh, usai sidang perbaikan permohonan di MK Jakarta, Jumat (31/8).

Menurut dia, pihaknya mempersoalkan hal tersebut karena tidak semua pasal dalam peraturan di bawah UU itu rujukannya sama dengan yang diuji di MK.

Sholeh mengatakan, pemohon dapat memahami dasar dari adanya Pasal 55, yaitu agar tidak terjadi tumpang tindih putusan antara MK dengan MA, namun pasal tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum. "Yang di frasa Pasal 55 UU MK itu kan UU, bukan pasal. Itulah yang kami persoalan," kata Sholeh.

Sedangkan dalam petitumnya, lanjutnya, pemohon meminta MK membatalkan pasal ini. "Supaya hal-hal ini dinyatakan oleh MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Atau ada tafsir dari MK, pasal ini harus dimaknai sebagai pasal, bukan UU yang diuji di MK dan di MA itu sama," katanya.

Sholeh mengungkapkan bahwa perkara yang diajukan pemohon bermula dari adanya peraturan menteri kesehatan yang melarang tukang gigi menjalankan praktek.  Sholeh mengatakan bahwa pemohon mengajukan gugatan ke MA terhadap peraturan tersebut , yakni Pasal 59 UU Kesehatan tentang pelayanan kesehatan tradisional.

Di tengah gugatan ke MA, pemohon juga mengajukan permohonan uji materi Pasal 170 UU Kesehatan yang mengatur tentang pembiayaan kesehatan ke MK.  Dengan adanya permohonan ini, gugatan pemohon di MA terancam batal karena berlakunya Pasal 55 UU MK.

Terkait hal ini, kata Sholeh, pemohon dalam pokok permohonannya, pemohon berharap gugatan mereka di MA tidak dihentikan. 

"Di sana (MA) Pasal 59 mengatur pelayanan kesehatan tradisional. Di sini (MK) Pasal 170 mengatur tentang pembiayaan kesehatan. Kan tidak sama, tapi kenapa harus dihentikan," kata Sholeh.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement