Selasa 28 Aug 2012 15:53 WIB

'Konflik Sampang Cermin Umat Islam Masih Intoleransi'

Rep: Rachmita Virdani/ Red: Karta Raharja Ucu
  Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). (Saiful Bahri/Antara)
Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). (Saiful Bahri/Antara)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsudin menyesalkan kerusuhan Sampang, Madura yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Menurut Din, ada tiga sisi yang bisa disoroti dari kerusuhan yang disebut-sebut karena konflik pengikut Syiah dan Sunni itu.

"Bila dilihat dari kejadian ini, ada tiga sisi yang bisa disoroti. Pertama ketidakhadiran negara dalam peristiwa ini. Padahal selama ini sudah banyak kritik tapi tidak pernah didengar dan diperhatikan," jelas Din saat ditemui di acara Tausiah Silaturahim Idul Fitri 1433 Hijriah di Aula Universitas Islam Bandung (Unisba), Selasa (28/8).

Negara disebut sudah kalah karena ketidakhadiran penegakan hukum dalam peristiwa tersebut. "Ada dua hal yang patut diperhatikan pemerintah, yaitu tidak ada hadirnya negara dalam penegakan hukum terhadap pelakunya di masa lampau dan tidak ada tindakan pemerintah dalam merajut harmonisasi sosial di daerah tersebut," tutur Din menjelaskan.

Sisi kedua yang perlu disorti, lanjut Din, yaitu peristiwa Sampang yang sempat terjadi pada 2006 dan Desember 2011. Kedua peristiwa itu juga membuktikan masih ada intoleransi termasuk umat Islam. "Mereka tidak siap hidup berdampingan secara damai dan untuk berbeda pendapat," sebut Din.

Selain itu Din menyebut peristiwa tersebut memang sangat kental dengan dimensi keagamaan. "Tidak perlu dihindari atau direduksi bahwa ini masalah kriminalitas murni. Jelas faktanya kaum Syiah yang minoritas menjadi korban," sesal ulama 53 tahun itu.

Kemudian ketiga, ada juga faktor-faktor lain seperti politik. "Kemungkinan ada yang memanfaatkan situasi ini, ada yang bermain di air keruh. Tapi faktor ini tidak terlalu dominan," imbuh ulama kelahiran Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958 silam itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement