REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kejaksaan Agung menyatakan pihaknya sampai sekarang masih menunggu hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terkait besaran kerugian negara dari proyek bioremediasi atau pemulihan tanah bekas eksplorasi PT Chevron Pasific Indonesia di Riau.
"Tim penyidik secara kontinyu masih berkoordinasi dengan BPKP," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Andhi Nirwanto di Jakarta, Jumat (10/8).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan proyek bioremediasi atau pemulihan tanah bekas eksplorasi PT Chevron Pasific Indonesia di Riau dari hasil uji tanah di laboratorium diketahui positif atau proyek itu fiktif. "Dari hasil laporan laboratoriumnya, ternyata positif," ucap Andhi Nirwanto.
Ia menegaskan, hasil penelitian laboratorium itu mendukung sekali untuk proses pembuktian dari jaksa di persidangan nanti. Di bagian lain, ia menyebutkan tim penyidik sampai sekarang masih berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), guna mengetahui adanya kerugian negara dari tindak pidana korupsi itu.
Sebelumnya, penyidik sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah dari PT CPI. Dua orang lagi yakni Direktur perusahaan kontraktor PT GPI Riksi dan Dirut PT SJ Herlan.
Kasus tersebut bermula dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron yang salah satunya mengatur tentang biaya untuk melakukan pemulihan lingkungan (cost recovery) dengan cara bioremediasi. Bioremediasi merupakan penormalan tanah setelah terkena limbah minyak dalam proses eksplorasi, dan proyek tersebut berlangsung sejak 2006 sampai 2011.
Di dalam pelaksanaannya, CPI telah menunjuk dua perusahaan untuk pelaksanaan bioremediasi, yakni PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Namun, pelaksanaan tidak ada alias fiktif, padahal anggaran untuk bioremediasi mencapai angka 23,361 juta dolar AS dan diajukan ke BP Migas serta sudah dicairkan hingga negara dirugikan sekitar Rp 200 miliar.