REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) belum menindaklanjuti Surat Kuasa Khusus (SKK) pemerintah untuk menjadi jaksa pengacara negara dalam menghadapi gugatan perusahaan pertambangan, Churchill Mining Plc. Surat itu terkait dengan kasus tersebut di pengadilan arbitrase. Kejakgung masih menunggu koordinasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
"Kita belum bertemu dengan Menkumham," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Senin (30/7) malam. Sebelumnya, Kejakgung pada 25 Juni 2012 mengaku sudah menerima SKK tersebut untuk segera ditindaklanjutinya. Pekan lalu itu, dia menyatakan ada empat pejabat yang menerima SKK, yakni Jaksa Agung, Menkumham, Mendagri, dan Kepala BKPM.
Langkah berikutnya, kata dia, Kejakgung akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait. "Pokoknya segera kami melakukan koordinasi," katanya. Ia menjelaskan, yang paling mendesak untuk dilakukan, yakni menentukan siapa penasihat hukumnya, arbiternya harus ditunjuk. Hal itu sesuai prosedur yang berlaku untuk pengadilan arbitrase.
Kendati demikian, Basrief optimistis pemerintah Indonesia akan menang dalam menghadapi gugatan perusahaan milik Inggris tersebut. Perusahaan tambang berasal dari Inggris itu menggugat pemerintah Indonesia sebesar dua miliar dolar AS karena tidak puas terhadap pencabutan izin pertambangan batu bara di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Pencabutan izin pertambangan itu dilakukan oleh Bupati Isran Noor. Dia telah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama karena palsu. Hal itu terkait dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2006-2008 yang menyebutkan keberadaan IUP Ridlatama palsu. Tidak terima keputusan Bupati Kutai Timur, Churchill mengajukan gugatan ke ICSID pada 22 Mei 2012.