Rabu 25 Jul 2012 01:45 WIB

Wes Ewes Ewes Bablas Surveinya (III) Menarik Perhatian

Anggota Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hasil penghitungan cepat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 di Menteng, Jakarta, Rabu (11/7). Hasil LSI menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja unggul 42,77 persen disusul
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Anggota Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hasil penghitungan cepat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 di Menteng, Jakarta, Rabu (11/7). Hasil LSI menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja unggul 42,77 persen disusul

REPUBLIKA.CO.ID,Di tengah prahara meleset berjamaahnya hasil survei pemilukada DKI Jakarta itu, Lingkaran Survei Indonesia tampak menonjol dalam menyedot perhatian. Ada beberapa catatan tentang lembaga yang dibidani Denny JA ini. Pertama, lembaga yang dalam melakukan ja jak pen dapat bergandengan dengan Citra Komunikasi (Cikom) --sehingga menjadi Cikom LSI- - inilah yang paling gencar menyatakan kemungkinan Foke-Nara akan menang satu putaran. Padahal, jika dibandingkan dengan hasil survei LSI sebelumnya, sejatinya elektabilitas Foke- Nara turun. Pada survei LSI yang diumumkan 8 April, misalnya, elektabilitas Foke-Nara 49,1 persen.

Kedua, lembaga ini belakangan mengumumkan bahwa survei yang mereka lakukan didanai Foke-Nara, sebesar Rp 250 juta. Namun, pihak tim sukses Foke-Nara justru membantahnya. Pernyataan didanai Foke paling akhir disampaikan oleh peneliti LSI, Barkah Pattimahu, dalam acara Indonesia Lawyers Club yang digelar TVOne, pada Selasa ma lam (17/7). Tapi, pihak tim sukses Foke-Nara justru membantahnya. “Tidak ada kontrak dengan LSI,” demikian bantahan tim sukses Foke-Nara pada acara yang dipandu wartawan senior Karni Ilyas itu. Saling bantah yang memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Ketiga, LSI --baik Direktur Eksekutif Cikom-LSI, Toto Izul Fatah, maupun pendiri LSI, Denny JA-- kerap berdalih bahwa lembaga polling bereputasi dunia seperti Gallup Pollpun pernah salah memprediksi. Keduanya menyebutnya sebagai anomali.

Tapi, entah mengapa, yang kerap mereka jadikan contoh adalah pemilu presiden AS tahun 1980, ketika Ronald Reagan (Republik), bersaing dengan Jimmy Carter (Demokrat). Mereka menyebut Gallup memprediksi Carter meraih 44 persen, sedangkan Reagan 41 persen, namun hasil aktualnya adalah Carter 41 persen dan Reagan 50,7 persen.

Berdasarkan penelisikan Republika, Gallup Poll tidak melakukan kesalahan prediksi pada pilpres 1980. Data dari Gallup.com, Gallup memprediksi Carter meraih 44 persen, dan Reagan 47 persen. Dan, pada hasil pemilu aktual, Carter meraih 41 persen, dan Reagan 50,8 persen.

Selama 19 kali ‘mendukuni’ pilpres AS, sejak 1936 hingga 2008, Gallup Poll hanya melakukan dua kali kesalahan. Yaitu pada pilpres 1948 ketika Gallup memprediksi Thomas Dewey (Republik) menang, tapi ternyata dikalahkan Harry S Truman (Demokrat). Serta, pilpres 1976 ketika Gallup mengunggulkan Gerald Ford (Republik), tapi dikalahkan Jimmy Carter (Demokrat).

Keempat, para petinggi LSI kerap membuat perbandingan antara kesalahan survei yang mereka lakukan dibanding yang benar. Dari 100 survei, hanya empat --termasuk DKI—yang meleset. “Ini anomali. Tapi, masih di bawah 10 persen. Artinya, masih akurat di atas 90 persen. Track record itu bisa diuji,” katanya lewat pesan singkat kepada sejumlah media.

Tapi, pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, mengingatkan bahwa kesalahan yang dilakukan dalam pemilukada DKI, tak bisa disamakan dengan kesalahan di daerah lain. Pertama, karena gengsinya berbeda. Kedua, karena Jakarta sebenarnya sebuah wilayah yang sangat terjangkau ditinjau dari sudut apa pun, tapi lembaga-lembaga survei arus utama justru tak mampu mengendus tren yang berkembang.

Betapapun yang terjadi bisa jadi merupakan sebuah anomali, Effendi menandaskan, “Orang-orang dari komunikasi politik mengatakan, kalau H-10 atau H-7 Anda tidak bisa mengendus secara instingtif bahwa ada tren berpindahan ke salah satu kandidat, agak masalah juga Anda sebenarnya. Kan perpindahannya dalam jumlah besar itu. Tidak ujug-ujug.”

Karena kasus meleset di DKI ini sedemikian dahsyat, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated, dalam sebuah diskusi menilai pollster bak sedang turun status dari dukun modern menjadi peramal jalanan. Semoga potret buram ini segera berganti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement