REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung membeberkan sejumlah alasan kenapa belum juga mengeksekusi puluhan terpidana mati. Kejagung masih memberi hak bagi terpidana hukuman mati untuk menempuh upaya hukum selanjutnya.
"Jadi tidak sembarangan," jelas Jaksa Agung, Basrief Arief, di Jakarta, Selasa (17/8). Basrief menilai masih ada upaya hukum luar biasa yang dapat mereka tempuh.
Pertama mereka masih bisa menggunakan upaya hukum, banding dan kasasi. Kedua mereka masih mempunyai upaya hukum luar biasa, ada PK (Peninjauan Kembali) dan Grasi.
"Jadi ini harus ditunggu, kalau semua sudah berjalan, sampai dengan grasi, masih ada tata cara lagi," ucapnya. Ia menegaskan sesuai Undang-Undang No 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, terpidana diberi kesempatan untuk mengajukan permintaan terakhir, sebelum dieksekusi.
"Apa permintaan terakhir, ada yang minta bertemu keluarga, keluarganya di luar sana sakit minta waktu. Itu harus dipenuhi," imbuhnya.
Pihaknya tidak mau gegabah dalam melaksanakan atau mengeksekusi bagi terpidana hukuman mati. "Kita nembak tidak seperti nembak burung atau babi (eksekusi terpidana mati), yang mau dieksekusi punya hak sesuai undang-undang," kata Basrief.
Tidak kurang dari 119 terpidana yang diputus dengan hukuman mati. Dari data yang dirilis Badan Narkotika Nasional (BNN) pada akhir 2011, jumlah terpidana mati kasus narkotika mencapai 72 orang. Angka ini kemungkinan besar berkurang karena ada diantaranya mendapat pengampunan atau grasi.
Selain itu kasus pembunuhan, satu di antaranya adalah Very Idam Henyansyah alias Ryan, terpidana mati kasus pembuhunan dan mutilasi terhadap 11 korban. Upaya hukum yang diajukan Ryan kandas di pengadilan tinggat akhir yakni MA. Hakim kasasi MA menolak upaya hukum luar biasa yang diajukan Ryan bin Ahmad dengan nomor perkara 25 PK/PID/2012.
Meski demikian, Ryan masih mempunyai hak mengajukan grasi kepada presiden. Syaratnya, permohonan ampunan dan pengakuan bersalah itu baru bisa diajukan kepada presiden, 1 tahun pasca putusan PK MA.