REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses renegosiasi kontrak karya (KK) pertambangan dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) memasuki babak baru. Sebagian perusahaan pertambangan, terutama yang masih tahap eksplorasi sudah menyetujui seluruh klausul renegosiasi.
Menurut Anggota DPR, Sohibul Iman, dari enam klausul renegosiasi yang diusulkan pemerintah, terdapat minimal dua faktor paling krusial yang mempengaruhi proses renegosiasi, yaitu masalah royalti dan luas wilayah pertambangan. “Ini yang menyebabkan baru 19 dari 35 perusahaan yang menyetujui sebagian klausul renegosiasi,” ujarnya dalam siaran persnya, Kamis (28/6).
Politikus PKS ini mengungkapkan, ada perbedaan antara hitung-hitungan pemerintah dengan perusahaan pertambangan mengenai besaran penerimaan negara, terkait dengan keinginan menaikan royalti dari 1-2 persen menjadi 3,75 - 4 persen. “Harus dibuka secara cermat, berapa pendapatan negara dari sektor tambang, karena selain dari royalti, ada juga penerimaan pajak, retribusi, dividen, dan lain-lain,” tambahnya.
Mengenai luas wilayah produksi yang dibutuhkan perusahaan pertambangan minimal 75.000 hektar, Sohibul menuturkan bahwa hal ini perlu inspeksi langsung ke lapangan. Hal ini terkait UU Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Luas 1 WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25.000 hektar.
Sejauh ini sudah ada kemajuan dalam proses renegosiasi kontrak karya ini, namun Sohibul mengingatkan bahwa ke depannya masih alot, terutama bagi perusahaan pertambangan yang sudah lama berproduksi. Dia mencontohkan, seperti Freeport yang menolak seluruh klausul renegosiasi dan PT Inco yang menolak sebagian klausul renegosiasi.
“Karena itu perlu ketegasan pemerintah, bahwa UU No.4/2009 pasal 169b telah mengamanahkan untuk melakukan penyesuaian terhadap pasal-pasal KK dan PKP2B selambat-lambatnya satu tahun,” pungkasnya.