Ahad 17 Jun 2012 16:03 WIB

Buruknya Manajemen Gas Nasional Ciptakan Kisruh Harga

Rep: Sefti Oktarianisa/ Red: Dewi Mardiani
Pengamat perminyakan Kurtubi
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pengamat perminyakan Kurtubi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat energi, Kurtubi, menilai kisruh harga gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan industri merupakan akibat pengelolaan gas nasional yang buruk. Mekanisme penentuan harga gas menjadi absurb karena pemerintah sendiri tidak mengetahui bagaimana cara mengelola gas nasional.

“Gas ini memang keliru dikelola. Kekeliruan ini ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak mengerti mekanisme harga gas. Sehingga harga gas dibiarkan ke PGN sendiri,” jelasnya saat dihubungi, Ahad (17/6).

Menurutnya, seusai dengan UU, penentuan harga gas memang berada di tangan pemerintah. Potensi gas yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional, sudah sewajarnya membuat komoditas energi ini tidak diberikan ke tangan perseroan tertentu.

“Dari awal pun, privatisasi PGN yang dilakukan pemerintah juga sudah salah,” jelasnya lagi. Ketika PGN di lepas sahamnya ke pihak swasta, ia berujar pihak nonpemerintah seolah memilik hak untuk memonopoli harga yang ada tanpa berdiskusi dengan pemerintah.

Sebelumnya, pemerintah mengaku bakal membuat regulasi khusus guna menyelesaikan kisruh harga gas Perusahaan Gas Negara (PGN). Saham PGN yang tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah, membuat keputusan membatalkan kenaikan harga gas yang dilakukan BUMN tersebut sulit dibatalkan.

“Berbeda dengan Pertamina, di mana kita bisa atur harganya, PGN bukan lagi 100 persen dimiliki oleh negara,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rudi Rubiandini, saat ditemui wartawan, Jumat (6/15). Karenanya, ia menilai penting untuk mengajak PGN berdiskusi lebih lanjut agar ditemukan solusi terbaik.

“Walaupun mereka bussinesman, kita tetap harus berpikir mengenai kebutuhan nasional,” jelasnya lagi. Saat ini saham pemerintah di PGN hanya sebesar 56,96 persen sedangkan sisanya sebanyak 43 persen dikuasi publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement