REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Survei yang dilakukan Lembaga Incident Yogyakarta mendapatkan bahwa 38,50 persen dari 1.000 responden yang dimintai pendapat menyatakan mereka menginginkan jabatan publik dan kraton perlu dipisahkan. Hanya 36,10 persen responden yang menyatakan jabatan publik dan kraton tak perlu dipisah, sementara sisanya 25,50 persen menyatakan tidak tahu atau bahkan enggan menjawab.
Hasil survei ini dipaparkan peneliti Incident, Sigit Giri Wibowo, pada acara dialog publik "Makna Keistimewaan Bagi Masyarakat DIY", di Gedung Pascasarjana Fisipol UGM, Kamis (31/5). Dijelaskan Sigit, sepertinya berhubungan dengan jawaban di atas, sejumlah 50,60 persen responden yang tidak setuju jika Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam berpolitik. Sedangkan 48,60 persenmenyatakan setuju dan 0,80 persen tidak menjawab, atau tidak tahu.
Sigit menjelaskan, survei ini dilakukan pada 16-25 April 2012, melibatkan 1.000 responden yang diambil secara acak dari seluruh wilayah DI Yogyakarta. Survei ini di antaranya untuk melihat respon masyarakat atas isu-isu yang mengemuka saat ini berkaitan dengan keistimewaan Yogyakarta.
Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah 91, baik pertanyaan terbukamaupun tertutup, dan sebagian besar lebih berupa klarifikasi pemahaman,pendapat, sikap, dan harapan masyarakat. Pada pertanyaan tentang arti istimewa bagi masyarakat, sebanyak 32,40 persen menjawab istimewa sebagai spesial. Sebanyak 27,70 persen menjawab memiliki hak istimewa. Lalu, ada 23,20 persen menjawab istimewa adalah khas.
Kata Sigit, sebanyak 97,90 persen masyarakat mengatakan bahwa Yogyakarta merupakan istimewa. Sedang alasan mengapa istimewa adalah Sultan dan PA menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (24 persen), aman dan nyaman (12 persen), lainnya (11,30 persen) dan kesedian bergabung dengan NKRI (8,10 persen. "Namun, sebagian besar responden (26,90 persen) mengatakan tidak tahu apa alasan Yogyakarta menjadi daerah istimewa," tuturnya.
Dari survei ini, Sigit melihat berkaitan dengan isu keistimewan perlunya keterbukaan masing-masing pihak, propenetapan dan propemilihan, untuk berdialog. "Saya melihat rakyat mengalami kebingungan bahkan dalam derajat esktrem apatisme luar biasa dengan isu keistimewaan ini," kata dia.