REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang narapidana korupsi, meskipun telah mendapatkan status justice collaborator (saksi pelapor atau tersangka dan terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum) tidak serta merta mendapatkan apresiasi dari penegak hukum. Sebaliknya, jika justice collaborator itu justru banyak memberikan keterangan palsu, maka ia bisa dipidana.
"Kalau si justice collaborator-nya memberikan keterangan palsu atau dia ketahuan berbohong, maka statusnya bisa dicabut dan bisa dipidana," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Denny Indrayana di Jakarta, Jumat (18/5).
Menurut Denny, segala macam perlakuan 'istimewa' dan fasilitas seperti perlindungan fisik, pembebasan bersyarat, dan remisi, tidak akan diberikan kepada justice collaborator yang terbukti memberikan keterangan-keterangan palsu. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang bisa memberikan 'fasilitas' itu sesuai dengan permohonan lembaga penegak hukum ataupun LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban), akan mencabut hak-hak yang diterima seorang justice collaborator yang memberikan keterangan palsu.
Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berhati-hati dalam menetapkan status juctice collaborator terhadap seorang koruptor. Jangan sampai KPK dimanfaatkan untuk kepentingan koruptor itu sendiri dan menjerat pihak-pihak lainnya tanpa didasari alat bukti.
"KPK harus lebih hati-hati terhadap fakta-fakta yang diungkapkan oleh si justice collaborator. Jangan-jangan nanti malah KPK dimainkan oleh si koruptor dengan fakta-fakta yang membingungkan," kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari kepada Republika, Kamis (17/5).