REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris mengatakan, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical) tak pantas untuk menjadi presiden. Pasalnya, Ical dianggap masih menerapkan sistem oligarki di partainya saat menjadi sebagai ketua umum.
"Ketua umum yang kepemimpinannya oligarkis tidak layak jadi presiden," jelasnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (30/4).
Menurutnya, oligarki kepemimpinan Ical di Golkar terlihat dari inkonsistensi di partai pohon beringin tersebut. Ini lantaran, awalnya Golkar menyebut akan menggunakan hasil survei untuk menentukan siapa capres yang diusung. Namun, kemudian ada indikasi kalau Ical akan ditetapkan langsung di melalui rapat pimpinan nasional (rapimnas) Juli mendatang.
Makanya, Syamsudin menyayangkan kalau rapimnas Golkar langsung menetapkan Ical sebagai presiden. Mestinya sebelum ditetapkan ada kesepakatan awal mengenai mekanisme pencalonan presiden yang dianut partai. Yaitu, akan menggunakan mekanisme semacam apa.
Sebaiknya ditentukan apakah akan sama dengan pemilu 2009 atau menggunakan mekanisme yang lain. Misalnya saja, dengan menggunakan survei. Itu pun harus dijelaskan, mekanisme survei yang digunakan.
"Kalau survei itu menghasilkan tokoh selain ketua umum, apa kemudian konsisten dilasanakan oleh partai Golkar. Kalau hasil survei itu ternyata yang elektabilitasnya tinggi bukan ketua umum, bisa jadi hasil surveinya tak diumumkan atau dimanipulasi hasilnya," papar dia.
Ia mengatakan, pemimpin partai oligarkis memang tak layak jadi presiden. Pasalnya, memimpin partai saja sudah memaksakan kehendak dan memutuskan sesuatu atas dasar kelompok kecil. "Tentu itu sangat berbahaya kalau jadi pemimpin bangsa," papar dia.
Syamsuddin mengaku, tak yakin ketua umum partai akan menjadi capres yang baik. Apalagi, di negara lain fenomena ini tak pernah terjadi. Di Amerika Serikat, yang terjadi malah berasal berlatar belakang kongres atau gubernur.
Harusnya, ujarnya, ada kesempatan bagi calon pemimpin bangsa selain dari partai politik. "Karena tak diatur di konstitusi, UU Pilpres harus ada mekanisme yang menentukan bukan ketua umum yang jadi capres. Bisa saja dengan adanya pemilihan pendahuluan, minimal satu tahun. Supaya kandidat bisa dimatangkan dari perbedatan yang dialami," imbuhnya.
Karena itu, jelas dia, Ical harus legowo untuk membuka kesempatan bagi calon lain. Tak hanya dari internal partai, namun juga dari tokoh lembaga kemasyarakat dan sebagainya. "Kalau tidak, lagi-lagi kita akan beli kucing dalam karung. Hasilnya, jadi capres yang hanya pencitraan. Ini bagian dari dampak menguatnya oligarki di Golkar," pungkas Syamsudin.