REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan rapat paripurna DPR dinilai menyisakan banyak kelemahan. Ketua Perludem, Didik Suprianto, menilai terdapat beberapa pasal dalam beleid tersebut yang melanggar konstitusi. "Beberapa pasal menghilangkan otentisitas seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945," ungkapnya di Jakarta, Jumat (13/4).
Didik mencontohkan adanya perubahan pemberlakuan ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold secara nasional. Sistem PT itu menentukan pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota dihitung sesuai dengan yang diberlakukan dalam DPR.
Menurutnya, penerapan ambang batas nasinal tersebut merupakan bentuk kejahatan politik. Ketika seorang warga memilih anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dengan ukuran pemilihan anggota DPR, ujarnya, maka akan menghilangkan keaslian pemilihan suara tersebut. Sehingga, akan merugikan partai yang hanya besar di daerah-daerah tertentu. Menurutnya, hal tersebut melanggar pasal 22 E ayat (1) dan pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, ujarnya, besaran ambang batas 3,5 persen suara nasional berpotensi menaikkan jumlah suara terbuang. Sehingga, tuturnya, menurunkan kadar proporsionalitas yang sebenarnya dianut dalam beleid tersebut. Didik menegaskan UU itu pun gagal meletakkan sistem demokrasi untuk pemilu ke depan. Menurutnya, hal tersebut dapat terlihat dari tidak adanya tujuan yang tegas tentang pemilu.
Selain itu, ujarnya, penyelenggaraan pemilu legislatif yang berbeda dengan pemilu presiden menjadikan pemilu 2014 bakal menghasilkan cacat yang sama dengan pemilu sebelumnya. Yakni tidak adanya kejelasan komposisi koalisi oposisi seperti yang terjadi saat ini.