REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pansus RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS), Eva Sundari, menyatakan RUU ini dibangun berdasarkan kemandirian bangsa. Tujuannya untuk memperkuat sipil dalam menangani konflik sosial agar tidak meluas.
"Jadi tidak benar jika dikatakan RUU ini untuk memuluskan pemodal asing beraksi di Indonesia," jelasnya, di Jakarta, Rabu (11/4). Inisiatornya adalah pihak sipil pegiat perdamaian dari berbagai perguruan tinggi. LSM, individu dan pemerintah pun dilibatkan.
"Ini dibawah pengawasan Bappenas yang mendapat dana dari United Nation Development Program sebagai pengelola hibah dari Kerajaan Belanda," jelasnya.
Dukungan teknis oleh asing semacam itu lazim di kalangan LSM. Urusan substansi tidak diintervensi karena diserahkan sepenuhnya kepada LSM atau pihak sipil. "Ini beda dengan kasus RUU yang draftnya justru dilakukan oleh konsultan asing yang tentu membawa kepentingan asing," imbuh Eva.
Keterlibatan asing justru dihapuskan, walau sudah dibatasi hanya pada level paska konflik. Sebaliknya, para investor, termasuk asing, diharuskan melibatkan komunitas setempat pada setiap siklus investasi yang dimuarakan pada terciptanya kemitraan usaha.
Dalam penjelasan, keharusan ini meliputi sektor usaha yang luas, seperti perikanan, pertambangan, perkebunan, dan pertanian.
Eva menjelaskan konstruksi UU ini ditujukan untuk memperkuat sipil terutama pranata adat bagi penanganan konflik yang siklusnya adalah pencegahan atau pra konflik, penghentian dan rehab atau rekonstruksi paska konflik.
"Keterlibatan TNI hanya di saat penghendian konflik, itupun setelah didahului pernyataan ketidakmampuan Polri dan disetujui oleh Forum Pimpinan Daerah," jelasnya. Permintaan bantuan atau pengerahan oleh kepala daerah akan ditujukan kepada Pemerintah sehingga sesuai UU TNI. "Jadi isu keterlibatan TNI hanya saat di penghentian konflik, bukan di tahap lainnya," papar Eva.