Jumat 30 Mar 2012 21:00 WIB

BLSM Hanya Membebani Masyarakat

Rep: Indah Wulandari/ Red: Chairul Akhmad
Seorang lansia menerima bantuan langsung tunai (BLT).
Foto: Antara/Eric Ireng
Seorang lansia menerima bantuan langsung tunai (BLT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) membebani masyarakat. Beragam konflik sosial baru bakal menghantui pelaksanaannya jika rencana kenaikan harga BBM disetujui.

"Dengan BLSM, pemerintah mengalihkan tanggungjawab terhadap masyarakat di bidang ekonomi karena kemiskinan hanya dipandang sebagai sebuah kondisi," jelas Ketua Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, Jumat (30/3).

Menurut Sri, sejak kenaikan harga BBM perdana pada tahun 2005, bantuan langsung menjadi salah satu pilihan dalam paket kebijakan kompensasi. Kali ini penerima bantuannya adalah 18,5 juta rumah tangga.

Palupi melihat di balik niat meredam dampak inflasi dan penurunan daya beli masyarakat dalam waktu beberapa bulan, malah muncul banyak kontroversi. "Kontroversi terjadi karena pencabutan subsidi, terutama di maraknya korupsi dan tingginya beban utang. Sehingga melukai masyarakat karena beban makin besar ditanggung bersama," paparnya.

Beban yang dimaksudnya karena pembayaran utang dan bunga dari luar negeri semakin bertambah. Sementara dari sektor internal ada ketidakmampuan mengoptimalkan penerimaan pajak. Alokasi APBN pun tak mampu memberi perbaikan bagi pelayanan publik.

Palupi meminta pemerintah agar mempertimbangkan kembali penggelontoran BLSM untuk tahun 2012 ini. Pasalnya, ada berbagai pengalaman negatif terkait BLT tahun 2004. Mulai dari pencairannya dilakukan jelang Pemilu, akurasi dan validitas RT sasaran menciptakan konflik, hingga adanya penolakan para kepala desa menyalurkan bantuan langsung.

Selain membebani pemerintah daerah, Palupi menganalisa timbulnya konflik di masyarakat karena ketiadaan mekanisme komplain. Kondisi ini karena ada berbagai masalah penyaluran di lapangan. Penetapan kebijakan BLSM, imbuh Palupi, tak didasari transparansi perekonomian negara.

Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Radja Silalahi, mengakui jika kenaikan BBM membebani ekonomi negara sekitar Rp 150 triliun hingga Rp 370 triliun. Jenis kompensasi berupa bantuan langsung justru efektif secara cepat meringankan beban masyarakat kurang mampu. Pasalnya, data yang dipakai mencakup semua kelompok masyarakat kurang mampu. "Belum ada studi di mana pun yang menunjukkan bantuan langsung sifatnya merusak dan bikin malas," ungkap Pande.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement