REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto meminta semua pihak dapat memahami keterlibatan TNI dalam menjaga objek vital. Apalagi kalau terjadi demonstrasi dalam jumlah besar yang berpotensi terjadi kekacauan, seperti yang terjadi di Istana Negara.
Karena itu, kata dia, sangat tepat kalau TNI berada di lokasi untuk mem-back up polisi guna berjaga-jaga agar tidak terjadi kericuhan. "Kalau membantunya dengan stand by di markasnya yang berada di luar kota, kalau ada potensi anarkis dan datangnya terlambat, TNI nanti disalahkan," terang Djoko di Jakarta, Jumat (23/3).
Dia menegaskan, sikap kewaspadaan itu harus selalu dikedepankan TNI. Apalagi akhir-kahir ini dinamisasi demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus meningkat. Sehingga, imbuh Djoko, TNI wajib mengambil langkah antisipatif agar kesiagaan itu muncul guna menghindari kejadian yang tak diinginkan.
Ini lantaran garda terdepan untuk mengamankan demonstrasi tetap menjadi kewenangan polisi. Namun, ketika para pendemo itu mendekati Istana Negara maka dalam radius 100 meter, terang Djoko, TNI diperbolehkan berjaga-jaga.
Dengan kata lain, menurutnya, aksi unjuk rasa tetap berlangsung dan TNI bertugas menjaga simbol negara. "Alert itu harus. Selalu ada pro dan kontra, niat TNI itu menjaga kepentingan bersama sebab demo masih dibolehkan," ujarnya.
Djoko mengingatkan, sangat janggal kalau tindakan TNI yang menjaga objek vital malah dipermasalahkan pihak-pihak tertentu. Pihaknya meminta seluruh kelompok dan elemen masyarakat untuk melihat dari kacamata kepentingan lebih besar dengan keterlibatan TNI menjaga Istana Negara.
Apalagi keterlibatannya sudah terlebih dulu hasil koordinasi antara Panglima TNI dan Kapolri. "Satpol PP boleh juga membantu polisi amankan demo. Aneh kalau kemudian membantu mengamankan agar tidak terjadi rusuh malah tidak disetujui," kata Djoko.