Kamis 15 Mar 2012 22:20 WIB

ICW: Dana Kampanye Harus Dibatasi

Rep: Ahmad Reza Safitri/ Red: Chairul Akhmad
Logo dan lambang partai politik di Indonesia.
Foto: sekilasindonesia.com
Logo dan lambang partai politik di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tingginya sumber keuangan yang dimiliki partai politik (parpol), dipandang Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat menjadi modal besar untuk memenangkan pemilihan umum (pemilu) baik tingkat legislasi atau pun eksekutif.

Berdasarkan data yang dihimpun pada Pemilu Legislatif 2009 lalu, ICW menemukan partai yang memiliki dana kampanye tertinggi adalah Gerindra, yakni sebesar Rp 300,344 miliar lebih.

Dalam jumlah tersebut, jenis pemasukan terbesar berasal dari sumbangan parpol yang mencapai Rp 216,516 miliar. “Lalu ada Rp 83,350 miliar dari sumbangan perusahaan, calon legislatif Rp 8.500.00, perseorangan Rp 20 juta, dan lain-lain mencapai Rp 449,550 juta,” ungkap Peneliti ICW, Abudullah Dallan, pada saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/3).

Pada urutan kedua, ditempati oleh Partai Demokrat yang tercatat memilki pemasukan sebesar Rp 235,168 miliar. Kemudian ada Golkar yang mencapai Rp 145,583 miliar, PDIP Rp 38,944 miliar, PKS Rp 36,521 miliar, Hanura Rp 19,235 miliar, PPP Rp 18,338 miliar, dan PKB yang mencapai Rp 3,609 miliar.

Pada data yang sama pula, ICW menangkap adanya indikasi manipulasi sumbangan dari apa yang dilaporkan parpol kepada KPU. Golkar misalnya, ungkap Dallan, dari dana sebesar Rp 145,583 dan telah dilaporkan kepada KPU, ternyata berbeda dengan belanja iklan aktual yang mencapai Rp 277,291 miliar. Ada juga Hanura yang belanja iklan aktualnya mencapai Rp 44,796 miliar, PDIP sebesar Rp 102,891 miliar serta PKS yang mencapai Rp 74,647 miliar.

Karena itu, menurut Dallan, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang tengah digodok, perlu adanya penguatan pengaturan persoalan dana kampanye. Setidaknya, kata dia, terdapat dalam beberapa aspek. Yakni aspek akuntabilitas, persaingan yang sehat (fairness), serta konteks korupsi politik.

Pasalnya, jelas dia, dalam pendekatan teori korupsi, pemilu merupakan momentum yang dapat dijadikan awal mula terbangunnya relasi korupsi. Salah satunya disebabkan karena adanya aliran dana politik. “Kasus Nazaruddin tak terlepas dari lingkaran setan itu,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement