REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Ekonomi LIPI, Latif Adam, tidak meragukan alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, awal April nanti.
Namun, dia masih meragukan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan kompensasi kenaikan harga BBM dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan subsidi kepada angkutan umum.
"Apabila aplikasi di lapangannya tidak matang, khawatir menimbulkan kekisruhan, bahkan penyimpangan" ujar Latif saat dihubungi, Ahad (11/3).
Setidaknya terdapat dua penyebab kerawanan terjadinya kekisruhan dalam pelaksanaan kebijakan kompensasi tersebut. Pertama, Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) menggunakan pendekatan rumah tangga saat menentukan kelompok miskin yang layak menerima bantuan langsung tunai seperti yang dilakukan pada 2005.
Padahal tolok ukur kemiskinan menggunakan pendekatan per kapita per orang. "Kalau PPLS tidak bisa menurunkan pendekatan ini, dari rumah tangga ke perorangan, akan terjadi exclusion error. Ini karena perbedaan orang yang hampir miskin dengan yang miskin sangat tipis," jelasnya.
Mekanisme pengawasan distribusi BSLM oleh pemerintah pun menjadi kekhawatiran lainnya. Pembagian BLT yang sudah-sudah, menjadi hal umum saat sasaran penerima BLT tidak optimal, di mana banyak penerima yang tidak layak menerima BLT. Dan akibatnya, banyak yang harus menerima malah gigit jari.
Hal yang serupa juga sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan subsidi kepada angkutan umum. Mudah saja bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan kepada angkutan umum terdaftar, tapi tidak begitu dengan angkutan tidak resmi.
Latif melihat kompensasi subsidi angkutan umum dimaksudkan agar pemilik angkutan umum tidak menaikkan tarifnya saat harga BBM yang baru ber mulai berlaku. Namun bila angkutan umum tidak resmi menaikkan tarifnya, keinginan pemerintah agar kenaikan harga BBM tidak dirasakan oleh pengguna angkutan umum akan sia-sia.