REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pemerintah Jepang menganggarkan dana sebesar 620 ribu dolar AS untuk pelayanan keterbukaan informasi publik guna mendukung penegakan demokrasi.
"Biaya itu untuk layanan kenyamanan atau kemudahan dalam akses informasi publik yang dikeluarkan pemerintah Tokyo, Jepang selama setahun," kata Guru Besar Universitas Doshisha, Kyoto, Jepang, Prof Eiji Oyamada, dalam seminar internasional bertema "Disclosure information and Good Governance".
Pelayanan informasi publik itu, kata dia, hanya dikelola oleh 23 staf. Mereka bertugas mengelola dan memberikan data dan informasi yang dibutuhkan publik. Sementara anggaran untuk alat tulis kantor (ATK), menelan dana sekitar 2,1 miliar yen (178 ribu dolar Amerika).
"Itu merupakan contoh dari biaya layanan keterbukaan informasi publik sepanjang 2009,'' paparnya. Layanan keterbukaan informasi publik itu telah memiliki legalitas sejak 2001 di Jepang. Diakuinya, Jepang terinspirasi dari model keterbukaan informasi Amerika dan Inggris.
Peneliti asal Jepang itu mengungkapkan, pada 2009 terdapat 75.899 kasus permintaan informasi. Dari jumlah kasus tersebut, disikapi dengan tiga cara yakni dengan informasi penuh sebanyak 38 persen, informasi sebagian (parsial) 59 persen dan informasi tertutup 3,2 persen.
Menurut Oyamada, informasi yang tidak terbuka (tertutup) salah satu pertimbangannya adalah menyangkut keamanan nasional yang tidak boleh dibuka ke publik.
Ketua Komisi Informasi Publik Daerah Sulsel H Aswar Hasan mengatakan, semangat keterbukaan informasi sudah ada sejak reformasi 1998. "Namun Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) baru ada pada 30 April 2008 dan mulai diberlakukan 30 April 2010," katanya.