REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M Nuh menyayangkan sikap Bupati/ Wali Kota yang lamban menangani kerusakan ruang kelas. Akibatnya, kerusakan fasilitas pendidikan ini kian parah.
Sejumlah ruang kelas terutama SD dan SMP, kondisinya semakin memprihatinkan. Bahkan kian tidak layak digunakan sebagai tempat belajar- mengajar.
“Ini menunjukkan Kepala daerah kurang peka terhadap kondisi pendidikan di wilayahnya,” ungkap Mendikbud, saat menyerahkan secara simbolis bantuan rehabilitasi ruang Kelas SD dan SMP, di Jakarta, Jumat (24/2) petang.
Menurut Nuh, kondisi ini telah menyebabkan program perbaikan ruang kelas yang rusak berat tahun 2012 ini menjadi ‘molor’. Program perbaikan yang semestinya sudah bisa berjalan mulai Januari hingga kini banyak yang belum tertangani.
Fakta di lapangan tak sedikit ruang kelas SD dan ruang belajar SMP yang kondisinya sangat tidak layak. Padahal lingkungan dan fisik sekolah bisa mempengaruhi karakter anak didik dan kualitas pendidikan yang dihasilkan.
“Bagaimana anak- anak didik bisa belajar dengan nyaman dan tenang, kalau atap sekolahnya saja nyaris roboh. Bahkan sewaktu- waktu juga bisa mencelakakan mereka,” ujarnya
Ia juga mengakui, rata- rata kerusakan fisik ruang kelas ini terjadi pada sekolah yang dibangun sekitar tahun 80-an. Artinya, secara fisik memang sudah waktunya dilakukan perbaikan.
Sesuai ketentuan penganggaran, dana program perbaikan ruang sekolah yang rusak selama bersumber dari dua saluran yakni dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemdikbud.
Secara keseluruhan, DAK yang dicairkan pusat khusus untuk program rehab sekolah ini mencapai sekitar Rp 8,5 triliun. Bahkan sudah dicairkan ke rekening daerah (termasuk pemkab/ pemkot) pada Januari lalu.
“Seharusnya, dana DAK itu sudah digunakan oleh bupati/ wali kota untuk segera memulai rehab ruang kelas yang rusak. Namun perbaikan ruang kelas yang rusak ini tak segera dimulai,” katanya.