Sabtu 18 Feb 2012 18:01 WIB

Effendi Ghazali: Boikot Media Tanda Demokrat Sok Kuasa

Rep: Erik Purnama Putra / Red: Ramdhan Muhaimin
Effendi Ghazali
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Effendi Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali mengkritik rencana pengurus Partai Demokrat yang ingin memboikot media lantaran pemberitaannya menyudutkan partai dan Presiden SBY. Dijelaskannya, berdasarkan teori Media Accountability, yang umum terjadi adalah orang atau institusi menuntut media ke Dewan Pers jika ada media yang selalu memberitakan negatif. Bisa juga, sarannya, pihak tersebut melaporkan kepada institusi penegak hukum karena yang bersangkutan dirugikan dalam pemberitaan.

Namun, kondisi itu tidak berlaku jika media membahas soal kepentingan publik, seperti moral politisi yang menggunakan uang rakyat atau APBN. “Kalau jantan, sesuai teori media yang logis itu, ya tuntut, bukan memboikot,” kritik Effendi, Sabtu (18/2).

Dia menyindir, istilah boikot itu biasanya digunakan anak kecil yang sok main kuasa. Effendi mengilustrasikan langkah petinggi Demokrat itu merupakan bentuk ketakutan akibat dikejar bayangannya sendiri. Hasilnya kalau benar sampai memboikot media, maka nasib Demokrat bisa babak belur.

Effendi meminta elite Demokrat untuk belajar kepada kasus yang menimpa Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Saat itu, Dipo berencana memboikot salah satu media yang terus memberitakan kejelekan pemerintah, dan tidak pernah memuat berita berbagai pencapaian pemerintah. “Hasilnya semakin parah bukan?”

Ketua Biro Bidang Hukum dan HAM Partai Demokrat Jemmy Setiawan, sebelumnya mengimbau seluruh kader Demokrat, terutama elitenya, diminta untuk memboikot media massa yang dianggap mengadu domba internal partai dan selalu mendiskreditkan SBY. Menurut Jemmy, seruan ini hendaknya disadari keluarga besar Demokrat maupun kelompok-kelompok yang ada di barisan SBY.

Rencana pemboikotan, lanjutnya, setidaknya dilakukan dengan menolak wawancara ataupun dijadikan sebagai narasumber oleh media yang terindikasi punya kepentingan politik tersebut. “Ini adalah bentuk perlawanan terhadap media yang tidak berimbang dalam memberikan porsi pemberitaan, atau bahkan timpang menyampaikan informasi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement