REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang hukuman mati.
Pengujian pasal ini oleh Raja Syahrial dan Raja Fadli, terpidana mati kasus pencurian disertai kekerasan (curas) di Karimun, Riau.
"Para pemohon adalah terpidana yang dijatuhi hukuman mati merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 365 ayat (4) KUHP," kata kuasa hukum pemohon, Rangga Lukita Desnata, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK Jakarta, Jumat.
Pasal 365 ayat (4) berbunyi: "Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3."
Kedua pemohon ini telah dijatuhi pidana mati lantaran terbukti melakukan pembunuhan dengan cara yang sadis seperti diatur Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP di PN Tanjung Balai Karimun akhir Januari 2010.
Namun putusan ini diperkuat Pengadilan Tinggi Riau dengan mengubah dakwaan dari Pasal 340 KUHP menjadi Pasal 365 ayat (4) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu pencurian yang mengakibatkan kematian.
Rangga menegaskan para pemohon merasa dirugikan lantaran dijatuhi hukuman mati sesuai Pasal 365 ayat (4) KUHP karena pemidanaan ini telah merebut/merampas hak untuk hidup sebagaimana dijamin Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
"Hak untuk hidup ini tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right)," kata kuasa hukum pemohon ini.
Selain itu, ketentuan pidana mati seperti tercantum dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP itu tak relevan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang menyebutkan hukuman mati hanya dapat dikenakan pada kejahatan yang sangat serius atau luar biasa.
"Kejahatan Pasal 365 ayat (4) KUHP tidak termasuk kejahatan serius. Terlebih, sudah banyak negara (mayoritas) yang menghapus ketentuan pidana mati ini. Selain itu, sejak terbitnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, ketentuan pidana mati sudah tidak relevan lagi," kata Rangga.
Karena itu, lanjutnya, Pasal 365 ayat (4) KUHP bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Majelis panel pemeriksaan pendahuluan pasal ini dipimpin Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi didampingi anggota panel Harjono dan Maria Farida.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Harjono mengatakan secara substansi permohonan tak bermasalah dan mudah dipahami namun secara struktur permohonan masih perlu diperbaiki sesuai peraturan MK? tentang prosedur pengujian undang-undang.
"Strukturnya nanti disesuaikan dengan peraturan MK itu, misalnya kewenangan MK, legal standing pemohon siapa, uraian potensi kerugian hak konstitusionalnya secara lebih argumentatif," kata Harjono.
Harjono juga mengingatkan bahwa MK pernah memutus ketentuan hukuman mati dalam UU Narkotika. "Pelajari saja substansinya terkait putusan MK terkait hukuman mati dalam UU Narkotika itu agar tidak 'nebis idem'," kata Harjono.
Majelis panel hakim memberi kesempatan kepara para pemohon untuk memperbaiki permohonannya maksimal 14 hari kerja.