REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Drajad Wibowo, menilai alasan yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kendala pemeriksaan audit forensik Bank Century merupakan preseden berbahaya bagi akuntabilitas penyelenggaraan negara.
Dalam laporan ke DPR-RI, BPK menyatakan ada lima kendala terkait pemeriksaan lanjutan mengenai aliran dana dari dan ke Bank Century. Antara lain, ketidakmampuan BPK untuk mengambil data di beberapa lembaga, seperti BI, Bapepam, dan kepolisian, yang ada kaitannya dengan bank yang kini telah berubah menjadi Bank Mutiara tersebut.
Alasannya, karena ada undang-undang lex specialis yang melarang lembaga-lembaga tersebut untuk membagi datanya ke BPK. ''Kalau argumen lex specialis itu dijadikan preseden, nanti semua lembaga negara akan memakai argumen ini untuk menyembunyikan dokumen dari BPK,'' kata Drajad ketika dihubungi, Jumat (30/12).
Menurut Drajad, tidak ada keraguan konstitusional sedikit pun tentang kewenangan BPK untuk mengakses dokumen penyelenggara negara mana pun. ''Apalagi hanya sebuah lembaga di bawah kementerian seperti Bapepam yang tidak disebut dalam UUD 45,'' tambahnya.
Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi-politik, Ichsanuddin Noorsy. Menurutnya, alasan itu menunjukkan kalau BPK gagal menjalankan perintah konstitusi. Pasalnya, undang-undang MD3 dan undang-undang BPK adalah UU Organik. Yakni, hadir karena perintah konstitusi. Demikian juga dengan BI dan Polri.
''Tapi tidak dengan Bapepam. Saat lex specialis berlaku, rujukannya adalah konstitusi, bukan undang-undang itu lagi. Makanya, jawaban HP (Hadi Purnomo-red) adalah jawaban menghindar dan lempar tanggungjawab,'' papar dia.
Sebagai solusi, Noorsy mengusulkan agar Timwas Century menyita alat pemantauan sistem pembayaran yang ada di direktorat akuntasi dan sistem pembayaran di BI. Tapi khusus untuk kasus Bank Century. ''Kalo alat itu disita dan dibuka oleh ahli IT, saya yakin akan ditemukan sesuatu yang luar biasa,'' tambah dia.