REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, heran kenapa pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat buat koruptor dipersoalkan. Padahal, kebijakan itu ditujukan untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
Denny mengakui sampai kini masih ada perbedaan persepsi terkait kebijakan itu. Sebenarnya, kata dia, dasar keputusan tersebut telah tertuang dalam PP 28 tahun 2006. Pengetatan buat kejahatan luar biasa tidak hanya narkoba, teroris, korupsi, tapi juga pelanggaran HAM berat.
Sementara yang dipersoalkan sekarang korupsi. Sedangkan untuk teroris dan bandar narkoba dan lainnya tidak masalah. Aspirasi publik banyak sekali yang dikesampingkan secara yuridis. "Bayangkan, seharusnya sama saja. Justru bukan diistimewakan, justru alasan paling dasar di situ," kata Denny, di Komplek Istana Negara, Rabu (14/12).
Untuk itu, Denny menganggap kebijakan pengetatan itu telah sesuai dengan aturan dan bisa dipertanggungjawabkan. Sekretaris Pemberantasan Mafia Hukum itu, kemudian mencontohkan soal SK pembebasan bersyarat yang dipersoalkan. Pencabutan SK itu, jelasnya, adalah wajar karena memang SK itu belum berlaku.
Menurutnya ada dua jenis SK. Satu yang sudah berlaku karena telah dilaksanakan dan diterima. Kemudian ada yang diterima tetapi belum dilaksanakan. Maksudnya, dalam setiap SK pembebasan bersyarat dalam diktum terakhirnya atau diktum tujuhnya, disebutkan surat ini berlaku pada saat dilaksanakan Kepala Lapas dan Kepala Rutan. "Jadi, kalau belum dilaksanakan, SK itu belum berlaku," terangnya.
Denny menegaskan untuk surat yang sudah diterima dan dilaksanakan, pihaknya tidak akan mengganggu gugat. Karena kebijakan ini tidak dilakukan secara surut ke belakang. Sementara SK yang diterima tapi belum dilaksanakan akan dicabut. "Karena kami melihat pembebasan bersyarat ini bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat," ujarnya.