Senin 14 Nov 2011 13:17 WIB

Golkar: 'PT' Lima Persen untuk Perampingan Parpol

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Partai Golkar menilai penetapan ambang batas perolehan suara partai di parlemen (Parliamentary threshold/PT) sebesar lima persen merupakan kebutuhan bersama untuk ciptakan stabilitas, penyederhanaan sistim parpol secara alamiah dan demokratis.

"Partai Golkar berpandangan, untuk memperkuat sistim presidensial agar pemerintahan efektif, produktif serta tercipta 'checks and balances', penyedehanaan sistim kepartaian secara alamiah dan demokratis, mutlak diperlukan. Dengan demikian, penetapan 'parliamentary threshold' sebesar lima persen merupakan kebutuhan bersama," tutur Ketua DPP PG Aulia Rachman di kantor DPP PG Slipi, Jakarta, Senin (14/11), saat membacakan pernyataan politik hasil Rapimnas II.

Sebelumnya Ketum DPP PG Aburizal Bakrie menyatakan Rapimnas II PG yang berlangsung 26-28 Oktober 2001 baru memberikan point-point untuk pernyataan politiknya. Karena itu tambah Ical maka baru saat ini pernyataan politik bisa dibacakan.

Lebih lanjut PG menilai perubahan sistim politik penerapan sistem multipartai tidak kompatibel dengan sistem presidensial, karena sistim multipartai ini mengarah pada praktek sistem parlementer.

"Demokrasi yang asal menang, demokrasi 'seolah-olah' yang bertopeng kekuasaan, hanya menjadi demokrasi yang melupakan rakyat," kata Aulia.

Partai Golkar berpendapat demokrasi berbeda dengan ajang perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara demi suara terbanyak.

"Demokrasi yang kita anut adalah demokrasi pengabdian, dan demokrasi untuk rakyat. Karena itu diperlukan kematangan dalam berdemokrasi harus sejalan dengan penataan sistim demokrasi itu sendiri. Tanpa kesadaran berbangsa yang matang, demokrasi hanyalah fatamorgana," tambah Aulia membacakan pernyataan politik PG.

PG juga mencermati perubahan sistem politik pasca amandemen UUD 45 cenderung bersifat parsial, tambal sulam, bongkar pasang dan tidak visioner. "Dengan realitas politik ini, PG menilai merupakan akibat dari dasar pemikiran yang berangkat dari paradigma pembongkaran, bukan paradigma penataan yang bermuara pada penguatan dan konsolidasi demokrasi," kata Aulia.

Dalam pernyataan politik PG tersebut mencermati beberapa point persoalan seperti soal pendidikan Pancasila yang mendesak pemerintah agar memberlakukan kurikulum pendidikan Pancasila di setiap jenjang pendidikan formal.

Selain itu PG juga mengingatkan pemerintah mewaspadai dan mengantisipasi ancaman krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat. Sementara di bidang hukum, PG menilai penegakan hukum belum memberikan kepastian hukum, belum mencerminkan keadilan masyarakat dan belum memberikan manfaat sosial secara maksimal.

"Hal ini masih ditandai adanya indikasi politisasi proses hukum, tebang pilih, mafia hukum, rendahnya integritas dan kinerja lembaga penegak hukum," kata Aulia.

Pembacaan pernyataan politik tersebut dihadiri ketum Aburizal Bakrie, sekjen Idrus Marham, serta puluhan fungsionaris DPP PG dan panitia Rapimnas II. Acara tersebut sekaligus digunakan untuk pembubaran panitia Rapimnas II PG.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement