Selasa 25 Oct 2011 16:21 WIB

Hibah F16 dari AS Masih Dibahas di DPR

Pesawat tempur Taiwan, F16 yang didapat dari paket militer AS sedang lepas landas dari bandara.
Foto: REUTERS
Pesawat tempur Taiwan, F16 yang didapat dari paket militer AS sedang lepas landas dari bandara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - TNI-AU akan menerima apapun keputusan politik pemerintah dan parlemen terkait hibah 24 pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat. Pasalnya, mekanisme hibah puluhan Fighting Falcon itu masih harus menjalani beberapa tahap pembahasan, di antaranya soal pembayaran biaya yang bisa timbul.

"Kami akan terima apapun yang diputuskan," kata Kepala Dinas Penerangan TNI-AU,  Marsekal Pertama TNI Azman Yunus, usai menghadiri pembukaan latihan gabungan penanggulangan terorisme TNI-Polri di Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/10).

Yang penting, katanya, kehadiran armada udara yang paling laku di seluruh dunia itu mampu mendukung tugas pokok TNI-AU menjaga udara nasional dari beragam ancaman. Secara mudah, dalam hal pengadaan atau perawatan arsenalnya, TNI-AU hanya menjadi pengguna dan pengusul kepada pemerintah.

Hari ini, pemerintah dan DPR kembali menggelar pertemuan tertutup membahas proses hibah dua skuadron pesawat F-16 dari Amerika Serikat. Pembicaraan itu merupakan ikutan dari pertemuan antara Presiden Susilo B Yudhoyono dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon E Panetta, di Nusa Dua, Bali, beberapa hari lalu.

Satu hal penting yang menentukan kemulusan proses hibah itu adalah mekanisme pembayaran. Indonesia, sesuai dinyatakan Sekretaris Jenderal Kemenerian Pertahanan, Marsekal Madya TNI Eris Heryanto, ingin memakai skema Foreign Millitary Sale (FMS).

Hal ini penting karena ke-30 pesawat tempur taktis itu akan ditingkatkan kelasnya, dari blok 25 menjadi blok 32. Sekedar gambaran, F-16 A/B yang Indonesia beli pada dasawarsa '80-an adalah blok 15, sedangkan yang paling canggih dimiliki Amerika Serikat sudah blok 52 dan blok 60.

Melalui skema tersebut, tanggung jawab ada di tangan Amerika Serikat sebagai negara pemberi hibah itu. Indonesia tidak perlu membayar pajak atau jasa. "Standar pesawat yang dihibahkan juga standar pesawat militer AS," ujar Heryanto.

Perjalanan untuk menghadirkan arsenal militer memang panjang dan cukup berbelit serta kaya nuansa politik. Kini, menurut Heryanto, penandatangan pada tahap Surat Penerimaan (Letter of Accetance/LoA) antara Indonesia dengan Amerika Serikat akan dilakukan pada Februari 2012.

"Jadi pada Maret 2012 diharapkan bisa pesawat sudah bisa datang, dan pada 2014 sudah sampai 16-20 pesawat yang datang," katanya.

Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Imam Sufaat sebelumnya juga menyatakan pesawat F-16 tersebut merupakan pesawat F-16 Block-25 yang akan di-upgrade menjadi Block-32. "Jadi akan ditingkatkan di sana  dan kita akan mengirimkan tim untuk memantau." kata Sufaat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement