Kamis 07 Jul 2011 18:09 WIB

ICW: Dirtut JAM Pidsus Lawan Jaksa Agung Soal Perkara Agusrin

Rep: A.Syalaby Ichsan/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pernyataan Direktur Penuntutan pada JAM Pidsus, Arnold Angkouw bahwa perkara Gubernur Agusrin M. Najamuddin tidak layak ke pengadilan disayangkan Indonesian Corruption Watch (ICW). Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan, mengatakan Arnold melawan sikap Jaksa Agung, Basrief Arief yang sudah menyatakan bahwa proses hukum perkara Agusrin akan terus berjalan.

 

"Ini keanehan kita yah. Sikap yang berlawanan membangkang atasannya. Melawan dari putusan yang dibuat oleh institusi kejaksaan ini," ungkap Dahlan saat dihubungi Republika, Kamis (7/7). Dahlan kembali mengingatkan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengungkapkan bahwa ada kejanggalan dalam putusan majelis hakim yang diketuai Syarifudin Umar soal bebasnya Agusrin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan sikap JPU, tuturnya, seharusnya proses perkara Agusrin harus terus diperjuangkan di tingkat kasasi. "Bukan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan," ungkapnya. Dahlan kembali menegaskan bahwa Jaksa Agung, Basrief Arief sudah bersikap untuk meneruskan perkara Agusrin ketika ICW bertemu dengannya di Kejaksaan Agung, Jakarta, pertengahan Juni lalu.

Selain itu, tuturnya, ICW juga sudah mengungkap terdapat dua belas kejanggalan dalam proses persidangan perkara korupsi dana 1perimbangan khusus bagi hasil pajak bumi dan pembangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPH TB) Provinsi Bengkulu tahun 2006-2007. Agusrin diduga telah merugikan negara Rp 21,3 miliar.

Diantaranya, pada putusan terdahulu atas nama terdakwa Chairuddin di Pengadilan Negeri Bengkulu tentang keterlibatan gubernur dan kerja sama untuk membuka rekening khusus di BRI Bengkulu tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim. Padahal perbuatan Agusrin dan Chairudin diyakini secara bersama-sama melawan hukum dan bersama-sama telah merugikan keuangan negara.

Saat berbicara dalam Dialog Pengelolaan Keuangan Negara di Jakarta, hari ini, Arnold menjelaskan bahwa untuk satu kasus korupsi harus dipenuhi tiga kriteria, yakni pertama ditemukan secara jelas dan nyata adanya kerugian negara. Kedua, ditemukan adanya aliran dana kepada tersangka yang didukung oleh fakta dan data yang jelas, dan kriteria ketiga adalah menguntungkan orang lain.

Khusus untuk kasus Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin, setelah membaca secara lengkap memori kasasi yang disiapkan oleh Kejaksaan Agung, menurut Arnold, tidak lagi memenuhi tiga kriteria tersebut sehingga kasus sudah tidak layak lagi masuk ke persidangan. "Saya sudah membaca memori kasasinya dan memang kurang maksimal. Tapi pada waktu itu saya belum ada di Kejaksaan Agung. Kalau saya penyidiknya, mungkin tidak akan sampai ke pengadilan," kata Arnold menegaskan.

Agusrin sempat divonis bebas hakim Syarifudin Umar pada 24 Mei 2011. Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Zuhandi, menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim. Akan tetapi, sikap tersebut menurutnya dinyatakan untuk mempersiapkan memori kasasi ke Mahkamah Agung. Zuhandi menilai majelis hakim mengacuhkan banyak fakta hukum yang ada dalam persidangan. "Terlalu banyak fakta yang diabaikan hakim," tegasnya usai sidang.

Menurutnya, hakim tidak mempertimbangkan fakta bahwa terdapat dua surat yang ditujukan untuk pembukaan rekening di luar kas daerah. Selain adanya surat dengan tanda palsu tersebut, ungkapnya, masih ada surat bertanda tangan asli Agusrin yang ditujukan untuk pembukaan rekening di Bank BRI Bengkulu.

Zuhandi mengungkapkan memang terdapat beberapa perbedaan antara surat bertanda tangan asli dan palsu. Untuk surat bertanda tangan asli, tuturnya, ditembuskan kepada sembilan pihak. Kemudian surat tersebut dibuat tanpa adanya nomor dan tanggal. "Tetapi tanda tangannya asli," ujarnya. Sementara untuk surat bertandatangan palsu, ditembuskan ke tujuh pihak dan lengkap dengan tanggal dan nomor.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement