REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA - Keberadaan Undang-undang Intelijen, yang kini sedang dirancang, tidak akan mengancam kebebasan mengakses informasi publik. Demikian kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring.
"Namun demikian, perlu dibuat tata cara dalam implementasi di lapangan terutama terkait persoalan izin penyadapan," katanya usai membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Informasi Pusat (KIP) di Yogyakarta, Jumat (1/7).
Jika UU Intelijen sampai mengancam UU lain, hal itu tentu tidak akan diloloskan karena semua melalui studi dan koordinasi dengan berbagai pihak. Dalam penyusunan RUU Intelijen, publik dipersilahkan untuk mengkritisi. ''Itu termasuk terkait kewenangan penyadapan yang dilakukan intelijen untuk dimasukkan menjadi pasal dalam UU tersebut," katanya.
Ia mengatakan intelijen memang meminta hak untuk menyadap. Tetapi, permintaan itu belum dikabulkan oleh DPR. Penyadapan selama ini dilakukan menjelang diperkarakan terhadap tersangka suatu kasus. "Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 telah diatur jika ada orang yang melakukan komunikasi kemudian direkam atau disadap, itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) kecuali yang bersangkutan memang tersangka," katanya.
Menurut Tifatul, tata cara soal penyadapan dalam RUU Intelijen perlu diatur karena penyadapan memang tidak boleh dilakukan sembarangan. "Oleh karena itu, ke depan perlu diatur tata cara dalam pasal penyadapan sehingga jangan sampai semua orang dengan begitu mudah bisa menyadap informasi. Saya berpikir ke depan dalam UU tersebut harus ada izin dalam melakukan penyadapan," katanya.