REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKARAYA - Peneliti Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan, berdasarkan kajian citra lansat yang dilakukan Greenpeace, 88 persen dari kegiatan penebangan hutan di Indonesia dilakukan secara illegal atau merupakan pembalakan liar.
"Kejahatan pembalakan liar atau yang lebih popular disebut dengan Illegal Logging tidak lagi dapat dipandang sebelah mata atau sekedar tindak pidana biasa. Baik dari pelaku maupun dari aspek kerugian negara sudah sangat memperihatinkan," kata Donal Fariz, di Palangka Raya, Rabu (22/6).
Menurut dia, dari segi pelaku sudah tidak sedikit kepala daerah yang terjerat dengan berbagai kasus kehutanan, sebut saja Suwarna Abdul Fatah, mantan Gubernur Kalimantan Timur, Teuku Azmun Ja'far, Bupati Palalawan.
"Dari aspek kerugian negara berdasarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setidaknya menyebutkan kerugian negara mencapai Rp 30,3 Triliun per tahun. Perhitungan itupun belum termasuk dampak ekologis yang ditimbulkan," ujarnya.
Ia menekankan sudah waktunya penegakan hukum mengubah paradigma kejahatan kehutanan sebagai tindak pidana luar biasa. Pasalnya, imbuh Donal, kejahatan kehutanan dilakukan secara terstruktur, sistematis dengan melibatkan pengambil kebijakan.
"Kejahatan kehutanan ini tidak saja merugikan negara, namun dilakukan lintas negara. Makanya dalam penindakannya tidak hanya pidana biasa saja," terangnya. Ia menjelaskan dengan kondisi seperti itu tentunya harus ada terobosan yang luar biasa pula dalam memberangus dan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan sebagai mana dimaksud, salah satunya dengen menerapkan delik korupsi.
"Situasi ini terjadi karena kelemahan substansial dan sangat mendasar yang terdapat dalam Undang-Undang Kehutanan. Bila menggunakan Undang-Undang Kehutanan tersebut, mayoritas yang terjerat justru perorangan dan pelaku penebangan di hutan saja, dan tidak menyentuh actor intelektual sesungguhnya" tegasnya.
Kemudian, sambung dia, jika cara kerja penegak hukum demikian, maka sama saja artinya penegak hukum memelihara akar masalah. Secara yuridis, penggunaan Undang-Undang Korupsi amat memungkinkan untuk diterapkan.
"Perdebatan Undang-Undang Kehutanan lebih khusus atau lex special dari Undang-Undang Korupsi sudah terbantahkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus Adelin Lis," tandasnya.